Rabu, 18 April 2012

yang dibalut lumut

Yang Dibalut Lumut
Cerpen Azhari

Ada yang mengapung bagai keranjang Musa, terlapik oleh sesuatu yang berwarna hijau. Hijau menebal dari leher hingga ke panggul -- serupa zirah. Alangkah terkesimanya Ranie. Tapi bukankah itu seonggok jasad. Jasad itu tersangkut pada batu. Selangkangnya ditubruk oleh aliran air yang keruh. Ranie menarik kembali celana yang dipelorotkannya, urung ia berhajat.

Turun ia ke sungai yang lumayan besar itu. Mengangkat jasad yang setengah tubuhnya berwarna hijau. Hidungnya disengat lumut. Aneh, jasad itu dibalut lumut dan tak terendus aroma bangkai. Dikuaknya lumut yang menyelimuti tubuh orang itu. Ada nganga di kiri dadanya, bekas tembakan. Tapi bukankah ini Mungkar? Orang yang dieksekusi beberapa hari lalu. Ranie terpacak kaku. Jasad itu lepas dari tangannya. Jatuh ke air.

Kami tak lagi mencari ikan. Tidak ada tempat buat melabuhkan jaring. Sungai ini dipenuhi mayat-mayat yang dihanyutkan. Berkali-kali sudah tubuh-tubuh itu sangkut di mata jaring, repot sekali tatkala melepaskannya, apalagi yang sangkut itu bagian telinga, jempol kaki, kemaluan, ataupun rahang. Setiap hari ada empat-lima tubuh yang mengapung.

Sekali-kali kalau sudah mendesak kakek baru akan mengail beberapa ekor ikan buat ditukarkan dengan belacan dan garam, tentu, setelah terlebih dulu menyingkirkan tubuh-tubuh yang apung dengan pengayuh bambu yang panjang. Kubantu kakek menyingkirkan tubuh-tubuh itu dengan mendorong-dorongkannya dengan kaki, menjauhkan dari rakit kami.

Kakek melarang aku memakan ikan dari sungai itu. Tidak baik, kata kakek, sebab bukan tidak mungkin ikan-ikan telah memakan serpih-serpih daging dari tubuh-tubuh yang apung.

"Kalau sekadar untuk dijual atau ditukarkan dengan garam atau belacan tak apa-apa. Sebab, cuma itu mata pencaharian kita. Ini memang zaman sulit," tambah kakek.

Kakek tak tahu aku sembunyikan beberapa ekor ikan di kantung celana. Dan aku membakarnya di tungku. Harum sekali baunya ketika menuju matang. Aku suka sekali melihat kulit ikan yang meletup-letup bagai gelembung karena di atasnya kuoles jintan. Ikan yang kumasukkan ke kantung celana tak lebih dari dua ekor, sebab celanaku memang berkantung dua. Aku berbagi dua dengan Pocut. Karena aku teramat idam dengan otak -- apalagi jika berhasil membawa ikan gabus sebesar lengan -- maka aku mengambil bagian tengah ke kepala. Pocut mendapatkan bagian tengah ke ekor. Yang seekor lagi kuberikan buat ibu. Ibuku gila, kata orang. Tapi orang gila juga perlu makan, bukan?

Sejak bapak diculik ibu memang agak payah, suka mengurung diri di kamar, tak hendak mengerjakan sesuatu apa pun. Aku marah jika orang menyebut ibu gila. Menurutku, ibu tidaklah gila. Ibu cuma ingat bapak. Seperti juga aku.

Sudah seminggu bapak diculik. Bapak diculik pada sebuah malam di mana bulan tak bersinar. Aku tak melihatnya. Aku sangat lelah malam itu, dan aku tidur nyenyak. Paginya kulihat ibu tersedu dekat guci air. Kakek yang memberitahukan aku.

"Bukan hanya bapakmu yang diambil," kata kakek. "Tapi juga Teuku Ibnu, Pawang Itam, Haji Gapi, ada tujuh belas dari mukim kita."

"Mereka menculik sambil mendengungkan assalamu'alaikum dan bismillah. Biadab! Apa salah suamiku?" ratap ibu.

"Jaga suaramu Hamama! Itu karena masjid telah dibakar. Dan lebih dua puluh teungku ngaji diracun."

"Tapi suamiku tak melakukannya!"

Kepadaku kakek menjelaskan bapak diambil karena ada sangkut pautnya dengan pe-ka-i. Aku tak tahu apa itu pe-ka-i. "Tapi aku tak yakin bapakmu pe-ka-i. Itulah, barangkali ia sering ke kota. Maka disangkut-pautkan. Mari mencari bapakmu," kata kakek beberapa hari kemudian.

Kakek mengajakku ke sungai di mana biasanya kami melabuhkan jaring, sungai yang melimpah dengan tubuh-tubuh yang apung. Di sungai ini kini kami mencari bapak.

"Kalau begitu bapak sudah menjadi mayat?" tanyaku. Aku menyesal telah memakan ikan dan menghisap otaknya. Berarti aku juga telah memakan tubuh bapak lewat serpih-serpih daging yang dimakan ikan-ikan.

"Kita cari dulu," kata kakek.

Sepanjang hari kami mencari bapak. Sepanjang sungai. Rakit mengarah ke rumpun bambu yang dahan-dahannya melengkung seperti hendak menciduk air. Terdengar gemerutuk batang bambu yang saling berhimpit. Daun-daun bambu jatuh bergulung. Aku ingat jin besar yang diceritakan kakek yang tertidur di dalam gerumbul bambu. Aku pucat pasi, dan mulai terkencing. Kakek terkekekh. "Tenang Ranie. Jin itu tak akan meludahmu dengan liurnya."

Kakek dan aku membalikkan setiap tubuh yang tak lagi sempurna. Ada yang dahinya retak seperti kena tetak. Seonggok jasad terburai. Kebanyakan tubuh tak berkepala. Hari ini ada sembilan tubuh yang terapung. Setiap kali membalikkannya aku berharap semoga bukan bapak.

"Guru Amini namanya. Dia ini guru murtad. Dia melarang pelajaran agama di sekolahnya. Dia juga yang membakar masjid." Kakek menunjuk-nunjuk pengayuh pada sosok tubuh. Ada yang kemilau dipantul matahari di sela jemarinya yang membusuk, sebuah cincin.

"Yang lehernya terikat tali. Yang rambutnya memutih seluruh, juga cambang, juga misai. Namanya Husein Pancuk. Dia lurah kampung Banda. Bekas KNIL. Kudengar, dia yang bakar penggilingan padi Hadji Musa."

"Kau lihat tubuh yang mulutnya terbuka, ada empat gigi emas, atas bawah, Agam Mudin, dia juga yang membakar mesjid. Sebelum menjadi Mantri Polisi, dulunya aneuk cahi Seudati."

"Seudati yang tepuk-tepuk dada itu?" tanyaku.

Kakek mengangguk.

"Ini Apek Liong. Dia datang dari Malaya. Aku pernah berhutang lima puluh rupiah kepadanya. Dan harus membayar dua ratus lima puluh rupiah. Ini Mak Timah. Dia tukang teluh. Dia yang membongkar kubur kanak-kanak dan mengambil hati dan lidah bayi. Waktu hendak membongkar kubur anak Kerani Muhib dua tahun lalu, Mak Timah kepergok, dan orang-orang yang menjaga kubur malam itu mengejarnya dengan pelepah kelor. Tapi dia menghilang begitu cepat seperti angin. Begitu yang kudengar. Lalu dia diusir dari kampung kita. Tubuh-tubuh yang lain aku tak mengenalinya. Mungkin dari Kota Atas. Atau dari daerah lain."

Hari ini tak ada tubuh bapak. Aku berdoa di dalam hati, semoga bapak tak pernah seperti tubuh-tubuh itu.

"Lihat tubuh ini, Ranie." Kata kakek keesokan harinya. Tubuh itu dibalikkannya.
"Ada yang membungkusnya seperti lumut. Hiruplah baunya tak tercium aroma bangkai." Kakek berseru.
"Ada lagi. Lihat itu Ranie," kakek kembali berseru.

"Tapi itu bukankah... Imum Hanip? Aku kenal dia, Ranie. Dia yang menanggung dua puluh batang kayu untuk tiang masjid mukim kita. Dia pula yang membangun madrasah. Kau harus sekolah di sana kelak. Dia yang memberi namamu Muhammad Ranie. Dia orang Syiah." Kakek mengusap muka jasad itu. "Dan ini Lukam Bisu. Tak tahu aku kesalahan apa yang telah diperbuat oleh seorang gagu seperti dia."

Hari ini juga tak ada tubuh bapak. Kami mendapatkan empat tubuh yang dibalut lumut. Dalam perjalanan pulang kakek terus bercerita mengenai tubuh-tubuh yang dibalut lumat. Kakek mengatakan mustahil mereka berbuat sesuatu kejahatan yang merugikan orang banyak.

"Nanto aku tahu dia memang tak pernah sembahyang, karena itu aku pernah marah besar padanya. Katanya, dia tak mau sembahyang bukan karena dia tak percaya Tuhan. Tapi, menurutnya, karena dia belum siap saja. Sembahyang itu harus bersih luar dalam. Dia tak mau menghadap Tuhan dalam keadaan yang tak bersih, semisal hati kita masih memendam dengki terhadap orang lain, atau membiarkan anak yatim kelaparan, padahal kita berkecukupan, bahkan sudah dua tiga kali berhaji. Menurutnya, tak ada gunanya sembahyang dalam keadaan demikian. Kau tahu Ranie, setiap maulud, hari raya qurban dan kenduri laot, dia selalu menyedekahkan seratus-dua ratus kelapa, atau seekor-dua kambing. Dan yang terpenting dia tak pernah lupa berzakat."

Umar tak bisa tulis baca, tapi buat apa tetek bengek itu buatnya? Almarhum Toke Rasyid, bapaknya, mewariskan berpuluh kebun cengkeh. Kau lihat bukit utara, bukit tenggara," jari kakek menunjuk-nunjuk ke arah gunung, "Itu semua kepunyaannya. Belum lagi berpuluh-puluh pintu toko di Pekan Ubit. Begitupun Umar tidak kikir, setiap meugang puasa dan hari raya di depan rumahnya yang besar bertimbun berkodi-kodi kain dan daging bertumpuk-tumpuk. Itu semua buat dibagi-bagikan kepada janda, anak yatim, dan fakir miskin. Seperti bapaknya, dia memang murah hati. Kau lihat, Ranie, tau lalat besar di pergelangan tangan kirinya. Itu barangkali yang membuat Umar begitu dermawan. Umar memang beristri banyak, setiap kampung dia punya satu istri, tapi dia berkecukupan, bukan?"

Nanto dan Umar tubuhnya juga dibalut lumut. Hari-hari selanjutnya kami melihat tubuh-tubuh yang dibalut lumut yang mengapung bagai keranjang Musa bertambah banyak. Melebihi tubuh-tubuh yang tidak dibalut lumut. Perbedaan nyata antara tubuh yang dibalut lumut dengan yang tidak adalah pada bau yang tidak menyengat dan jasad yang tak membusuk. Tubuh-tubuh yang dibalut lumut tak banyak dikenali kakek. Begitupun tubuh-tubuh yang tak dibalut lumut.

"Mereka bukan orang-orang sekitar sini. Barangkali saja mereka dibawa ke sini cuma buat dipancung lalu dihanyutkan ke sungai. Sebaliknya, aku mengira orang-orang mukim kita yang diculik juga akan dipancung dan dihanyutkan ke sungai yang lebih jauh dari mukim kita. Kau bayangkan, alangkah abnyaknya sungai di daerah kita ini."

Kami tak lagi mencari bapak. Seperti kata kakek, barangkali saja bapak telah dipancung dan dihanyutkan di sungai lain. Mendengar itu aku menangis tersedu-sedu. Aku rindu bapak. Aku berdoa semoga bapak juga dibalut lumut. "Mustahil ada jasad yang tak berbau dan membusuk padahal sudah berhari-haria. Pasti ada sesuatu, sesuatu yang keliru. Beruntunglah kita, Ranie, termasuk orang-orang yang dipelihara keajaiban itu oleh Tuhan. Semoga bapakmu juga demikian adanya."

Kami juga tak lagi merakit, tidak mungkin karena sungai kian meruah dengan mayat-nayat terapung. Kadang, kami sekadar menunggu di pinggir sungai di atas pematang seraya bermain tebak-tebakan, apakah tubuh yang bersembunyi di balik ranting waru atau yang tak kelihatan di balik batu besar itu dibalut lumut atau bukan.

Matikan segala lampu. Ikuti cahaya kunang-kunang. Di depan, sisa 100 meter, rumah istri mudanya. Intel kita melaporkan Mungkar ada di sana. Kepung. Siapkan senjata kalian. Hati-hati. Orang itu sangat berbahaya. Dia lantak 10 polsek, 13 reo dalam seminggu. Tangkap hidup-hidup. Melawan tembak. Aku tak ingin sekali ini gagal. Ranie sendiri yang mengeksekusinya ketika fajar sempurna.


Azhari adalah cerpenis dari Aceh. Cerpen ini merupakan juara I Lomba Cipta Cerpen Festival Kreativitas Pemuda 2003 yang diadakan oleh Direktorat Kepemudaan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas, bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) ini diikuti 262 cerpenis dengan 560 karya. Dewan Juri tahap final -- Hamsad Rangkuti, Maman S Mahayana, Ahmadun YH (ketua) dan Hudan Hidayat -- juga memilih cerpen Perempuan dan Sebatang Pohon karya Dyah Indra Mertawirana dan Jejak-jejak Terhapus Hujan karya Surono B Tjasmad sebagai juara II dan III. Sedangkan juara harapan I-III diraih cerpen Fragmen Sebelum Pulang (Badui U Subhan), Namaku Suci (Aishah Basar), dan Kenangan Bulan Merah (Yetti A KA). Para juara dan 24 nominator, Oktober nanti, akan diundang untuk mengikuti work shop cerpen di Jakarta.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Online Casino - Kadang Pintar
Get started now at Online Casino - a fun and easy way 제왕 카지노 to 메리트카지노 win real money playing kadangpintar slot machines with no deposit & withdrawal needed.

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management