Rabu, 18 April 2012

Penyesalan

Penyesalan
Oleh Wiwik Riyastiningrum
Penulis adalah mahasiswa Univ Hang Tuah Surabaya


Semakin keras lagu Bring Me to Life yang dinyanyikan Evanescence terdengar dari tape mobil, semakin kuat aku menginjak pedal gas mobil. Aku tidak mempedulikan lagi suasana malam yang sepi.

Tetesan airmata satu persatu jatuh, mataku terasa panas seolah tak terbendung. Aku menangis dan memperkencang laju mobil, 60, 70, 80, 90, 100…

"Kenapa harus aku? Kenapa aku tidak punya kekuatan untuk menolaknya? Kenapa memilihku? Oh Tuhan…"

Hanya itu sisa ingatan yang berhasil direkam otakku yang telah koma selama tujuh hari. Mobil yang kukendarai menghantam besi pembatas jalan bebas hambatan di kilometer 72 malam itu.

Sementara itu, orang-orang di sekelilingku selalu berkata, "Ini mukjizat Tuhan." Namun aku tetap tidak mengerti apa maksud mereka.

Setelah 20 hari di ruang ICU, aku dipindahkan ke sebuah kamar. Sementara orang-orang terus berdatangan, aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Tubuhku tergolek lemah di atas ranjang sambil menatap hijaunya rumput di taman rumah sakit yang hanya dapat kupandangi dari balik jendela ruangan ini. Wanita itu tetap berusaha memasukkan bubur ke dalam mulutku. Dan entah kenapa aku tidak punya kekuatan untuk menelan bubur itu.

Tuhan, apa yang terjadi padaku? Aku hanya bisa meratap dalam hati.

Berkali-kali wanita itu mengelap mulutku yang belepotan bubur. "Sayang, makan ya. Ayo, kamu putri ibu yang kuat. Ibu tahu itu. Anak ibu pasti bisa." Aku hanya menatap lemah wanita separuh baya yang menangis di depanku, yang ternyata ibuku.

Bu, ingin rasanya aku melahap semua bubur itu agar ibu tidak menangis. Tapi aku tidak mampu, Bu. Hanya tetesan airmata yang mengiringi teriakan dari dalam hatiku tadi.

Tiba-tiba ibu meletakkan mangkuk dan sendok di meja. "Baiklah, baiklah. Maafkan ibu. Ibu tidak akan menangis lagi agar kamu tidak perlu ikut menangis," ujar ibuku sambil menyeka airmatanya dan membersihkan airmataku.

Apa benar wanita ini ibuku? Oh, aku sungguh tidak ingat.

***

Tak tahu lagi berapa lama aku sudah menginap di rumah sakit itu. Dan, detik ini aku sudah pindah ke sebuah tempat yang penuh anak-anak yang sakit mental. Aku tetap duduk di kursi roda pagi itu, tanpa bisa berbuat apa-apa sementara perawat mendorong kursi ini mengitari taman.

"Mbak Sinta harus berusaha sembuh agar dapat berkumpul dengan ibu dan bapak. Karena itu coba kita latihan gerak." Aku hanya menatap wajah perawat itu tanpa bisa berkomentar.

Dia mulai memegang dan menggerakkan tanganku. Dipijit-pijitnya tanganku tapi aku tidak merasakan sentuhan apa pun. Tanganku mati rasa. Setelah pergelangan tanganku digerakkan, perawat itu mengeluarkan uang logam dan meletakkannya di telapak tangan serta mengepalkan jari-jari tangan tersebut agar dapat menggenggam uang itu. Tapi begitu perawat melepaskan tangannya, uang itu jatuh.

Oh Tuhan, bahkan untuk menggenggam sekeping uang logam pun aku tak sanggup. Aku merasa seperti seonggok daging yang mati, hanya otak dan hatiku yang tetap hidup dan merasakan penderitaan ini tanpa mampu berbuat apa pun. Air mata satu-satunya cara agar orang lain tahu perasaanku. Itulah caraku berkomunikasi dengan mereka. Bahkan untuk menampakkan ekspresi wajah senang, sedih atau marah aku tak sanggup.

***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu tanpa perkembangan yang berarti. Meski tiap hari perawat yang keketahui bernama suster Lina ini tak bosan-bosannya melatihku.

Semula ibu dan bapak tiap hari berkunjung. Tapi aku bisa melihat kalau tiap ibu meninggalkan aku, beliau selalu menangis. Tubuhnya bertambah kurus hingga guratan-guratan keriput mulai tampak di wajahnya. Aku tidak ingat lagi sejak kapan ibu mulai menghentikan kunjungannya. Yang kuingat hanya bapak berkata padaku itu semua demi kesehatan ibu. Bapak melarang ibu berkunjung lagi.

Seminggu sekali bapak datang untuk melihat dan berbicara denganku. Lebih tepatnya berbicara sendiri karena aku tidak bisa berkomentar apa pun. Seminggu sekali, sebulan sekali, hingga akhirnya hanya jika lebaran bapak bisa mengunjungiku. Tapi tentu saja tiap bulan ada saja paket foto atau surat datang dari mereka. Dengan setia perawat membacakan surat-surat itu.

***

Pagi itu perawat menyisir rambutku. Tiba-tiba seorang perempuan seumurku mendekati kami. "Suster, bisa bicara sebentar."
Mereka berdua menjauh dariku. Beberapa menit kemudian mereka mendekatiku. "Mbak Sinta, ini adalah teman Mbak. Dia ingin berbicara dengan Mbak." Perawat itu berhenti sebentar seolah memberi aku waktu untuk menjawabnya. Baru kemudian dia pergi dan gadis itu mendorong kursi rodaku menuju taman. Di bawah pohon rindang dia menghentikanku dan duduk di bangku taman di depan kursi roda.
"Sinta, aku Ardita, sahabatmu. Perlu waktu dua tahun untuk punya keberanian dan menceritakan hal ini padaku. Selama ini aku merasa bersalah dan tak sanggup jika menghadapi kamu di atas kursi roda seperti ini." Dia berhenti, seolah memberi kesempatan padaku untuk mencerna kata-katanya.
Aku merasa bahagia, bukan karena ada seseorang yang merasa bersalah dan bertanggung jawab atas keadaanku. Tapi karena ada masa lalu yang akan diceritakan oleh sahabatku yang mengaku bernama Ardita ini. Barangkali dengan begitu aku akan dapat merangkai kepingan ingatan yang berantakan dan beberapa di antaranya hilang yang selalu membuatku pusing jika aku berusaha merangkainya.
Cerita demi cerita meluncur dari mulutnya, diiringi dengan air matanya. "Maafkan aku Sinta. Kumohon, maafkan aku." Dia menangis di pangkuanku.
Jadi itu kejadiannya. Sejenak otakku terasa buntu. Orang yang sangat disayanginya meninggalkannya dan memilihku. Dia begitu marah hingga memutuskan persahabatannya denganku. Oh Tuhan, betapa tragis hubungan kami.
Ardita merasa tindakannya terlalu kejam sementara aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku memang bodoh! Keadaanlah yang membuat semua terjadi. Bukan salahku, Ardita ataupun cowok itu.
Meski bergetar hebat, tanganku tiba-tiba terangkat. Entah dari mana datangnya kekuatan itu. Aku mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia tersadar dan menghentikan tangisnya. Sementara itu, dari jarak sepuluh meter aku dapat melihat perawat yang merawatku selama ini terkejut. Kedatangan Ardita, sahabatku, menyebabkan tanganku yang selama bertahun-tahun diam itu bergerak.
***

Beberapa bulan kemudian aku telah mampu berjalan dan berkata. Walau sepotong demi sepotong yang keluar dari mulutku. Tidak pernah lagi aku mendapat kunjungan dari orang lain kecuali foto dan surat bapak serta ibu.
Setahun kemudian aku telah dapat membantu perawat melaksanakan tugas-tugasnya di tempat ini. Biarkan orang-orang menganggap keadaanku tetap seperti dulu. Aku hanya ingin mengabdikan diriku di tempat ini tanpa diketahui orang-orang dari masa laluku. Sampai suatu hari nanti…

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management