Rabu, 18 April 2012

Perempuan Paris Motinggo Busye

Perempuan Paris
Motinggo Busye

Episode 1
Perempuan Paris

Aku masih berdiri di Avenue De l ‘Opera. gila rasanya, berdiri ditepi jalan itu, lebih satu jam lamanya, hanya sendirian, tanpa bisa berfikir apa-apa! Hanya mata ini yang masih menolongku me­mandangi lalu lintas yang begitu ramai disore itu. Aku merasa seperti kehilangan gairah untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dan hanya ber­diri saja. Tetapi kakiku sudah enggan untuk melangkah lebih jauh lagi. Dan Faubourg Mont­martre sampai ke Avenue de l ’Opera ini, yang kulihat hanya orang-orang yang keluar toko dan masuk toko. Begitu juga di jalan ini! Dan toko “Ceremonia” itu saja dari tadi mataku melihat sudah lebih dari sepuluh orang perempuan yang keluar masuk toko itu dengan langkah tergesa-­gesa seperti ada yang dikejarnya. Tetapi yang paling menarikku dan sebanyak perempuan itu, hanya satu perempuan saja. Perempuan itu berjalan tergesa tadi menuju ke arahku, seperti seseorang yang pernah kenal lama denganku. Dituntunnya sepedanya, dan, kulihat, memang dia benar-benar menuju ke arahku. Dan begitu dekat kepadaku, perempuan itu rupanya merasa malu. Wajahnya merah padam, gerak-geriknya menjadi canggung, dan aku pun menolong pe­rasaan malunya itu dengan bertanya:

“Anda mencari siapa?”

Episode 2
Perempuan Paris


Dan aku langsung menuju kamarku. Dalam kamarku aku menerima kutuk. Yakni kutuk dari diri sendiri ini: Kenapa tak kau kejar perempuan itu! Kau goblok! Kau pengecut! Kau berlagak tidak kesepian, tetapi nyatanya kau kesepian, karena kau berdiri lagi di jalan itu. Mengaku kau apa tidak? Dan hatiku menjawab pula, benar, benar, benar. Semuanya itu benar.

Kurebahkan diriku pada sebuah sofa.

Kucoba melihat loteng kamarku untuk kembali menghayati apa yang menyebabkan bela­kangan ini aku merasa enggan. Enggan untuk berfikir apapun dan berbuat apapun. Ya, kehi­langan gairah untuk melakukan apapun. Dan mungkin saja semuanya ini dikarenakan kebo­sanan : Dua tahun di Paris tanpa kemajuan apa-­apa. Biarpun di kota besar ini aku bisa meme­nuhi kebutuhan hidup termasuk sewa hotel tanpa mengganggu Duta Besar Indonesia di kota ini seperti kebanyakan orang Indonesia yang jadi omelan orang-orang kedutaan, namun, aku me­rasa seperti seorang yang sedang kehilangan arah di tengah-tengah simpang tujuan hidup.

Apa salahnya kalau aku kawin saja semen­tara, dikota ini, seperti dinasehatkan Henri sa­habatku. Henri lelaki Perancis, dan melihat keadaan keuanganku ia meyakinkanku bahwa aku bisa memperisteri perempuan Perancis. Kata Henri, jika aku kawin dengan gadis Paris, ma­lahan itu Iebih baik lagi. Gadis itu bisa mencari nafkah sendiri dan takkan menjadi beban buat­ku. Dan, kata Henri, perempuan Paris ini pada umumnya senang dengan lelaki asing. Menurut Henri, aku harus menemukan seorang gadis yang suka kepada pulau-pulau yang jauh. Kata Henri, gadis demikian itu banyak sekali di Paris. Kata Henri lagi, rata-rata gadis Paris memburu ilmu pengetahuan disamping gila mode juga, dan aku pasti menemukan gadis semacam itu ditoko-toko buku. Lebih baik lagi, kata Henri, bila aku rajin mengunjungi Museum, Art galle­ry, dan, kata Henri, dengan gampang aku bisa memikat salah seorang dari gadis-gadis yang me­nyenangi lukisan-lukisan pelukis Gauguin yang pernah mengembara ke Pulau Tahiti.

“Memang aku mengerti saran-saranmu, Henri”, kataku kepada sahabatku itu, “Tepat seperti katamu itu. Dua tahun telah kupelajari selama aku di Paris. Kau benar. Dan memang benar bahwa rata-rata gadis-gadis itu ditimbuni oleh impian. Tetapi kalau telah kawin bagai­mana?”, tanyaku kemudian.

Henri gampang menjawab: “Itu tak perlu difikirkan dari sekarang. Kami beranggapan bahwa cinta lebih penting daripada kawin. Pu­puklah cintamu dulu dengan seorang gadis Paris ini, dan pada waktunya kawinlah. Jika kawin nanti mengganggu percintaan, putuskan perka­winan itu, dan pupuklah cinta itu selanjutnya. Dikota ini banyak perempuan yang sudah ber­cerai dari suaminya, tetapi terus saja bercinta dengan suaminya itu pula setelah bercerai”.

Kutertawakan Henri.

“Aku orang Indonesia, Henri”, kataku.

“Ya sekalipun kau ini makhluk dari langit, tak peduli. Yang jelas kau sekarang ini berada di Paris. Mau betah? Mengalahlah sedikit, mon petit”, kata Henri ketawa juga.

“Memang beruntung kalau bisa segampang fikiranmu, Henri. Kau menganggap perempuan di art-gallery seperti ikan-ikan betina di kolam ikan saja, tinggal pasang umpan, lalu kena gaet pancing”, kataku.

“Na, tepat! Memang begitu. Perempuan seperti ikan-ikan betina. Dan justru tukang pan­cing yang ditunggunya. Malah ikan-ikan itu akan membuat kutukan andaikata tidak datang tukang pancingnya”, kata Henri.

Kuhela nafasku dalam-dalam.

Aku masih duduk menyandarkan diri di sofa kamarku. Mau merokok, tetapi kubatalkan. Tetapi kemudian kuambil juga rokok Newport dari atas meja tulisku. Memang menghemat be­gini sudah kubiasakan, karena biarpun harga rokok Newport ini cuma F 2.90 sebungkusnya, tetapi kebiasaan menghemat sudah terbiasa se­menjak aku masih sekolah di negeri Belanda. Berbeda dari sewaktu masih di Indonesia, gigiku terkadang berkarat oleh nikotin dan sekali dua bulan harus dikikis di poliklinik gigi Universitas Indonesia.

Sambil menghisap rokok Newport, kini ku­coba mengalahkan keangkuhan yang dibuat-­buat dalam diriku semenjak berada dikota besar ini. Kucoba membenarkan pendapat Henri, bahwa perempuan ibarat ikan-ikan di kolam yang menunggu tukang pancing datang meman­cing. Dan kukawinkan pendapat sahabatku Hen­ri tadi dengan perempuan yang dua kali kutemui di avenue sore ini dan kemarin sore. Dan aku pun berniat, bahwa besok sore aku akan berdiri lagi di avenue itu kembali, dan lalu bertemu muka dengan dia, dan tentu dia akan menoleh lagi, masuk toko, kukejar, kubuang perasaan ang­kuh, kutegur dia dengan selamat sore yang lembut, kutolong dia membawa apa-apa. Tiba-­tiba: “Watak pelayan! Diperbudak perem­puan!”, hati kecilku yang angkuh berseru dari dalam, membuat aku meloncat dari sofa, dan hampir saja rokok Newport kulempar ke dalam asbak kalau tak ingat harganya sebungkus F 2,90. Kuhisap lagi rokok itu dengan tenang. Dan aku melihat sofa yang baru kutinggalkan. Tim­bul perasaan benci pada diri sendiri jika meng­ingat, enam bulan yang lalu seorang perempuan rebah disofaku yang baru kutinggalkan. Timbul perasaan benci pada diri sendiri jika mengingat, enam bulan yang lalu seorang perempuan rebah disofaku itu dalam keadaan menggairahkan, tetapi aku tak mau menyerahkan diriku seluruh­nya untuk memuaskannya. Kalau dia perempuan lacur, bolehlah aku tak menyesal sekarang ini. Tetapi dia itu perempuan baik-baik dan baik hati dan mahasiswi l’Ecole de Paris jurusan sejarah, sekolah dimana lebih satu abad yang silam pe­ngarang Honore de Balzac pernah pula sekolah disitu, pengarang yang kukagumi dengan buku­nya La Comedie Humaine, buku yang memikat­ku hingga sampai di kota ini pula!

Pintu kamarku tiba-tiba diketuk. Sahabat­ku Henri masuk.

Ketika Henri masuk, betapa senangnya hati­ku. Selain kuharap nasihatnya iapun seorang lelaki yang lincah, tidak pesimis, dan berterus­terang kepadaku dalam segala hal.

Maka karena itu aku merasa tak rugi bila kutawarkan sebatang rokok Newport, sekalipun harganya sebungkus adalah F 2,90. Tetapi Henri menolak tawaran yang telah kuperhitungkan itu. Ia sendiri mengeluarkan dari kantongnya rokok Newport juga, dan menghisapnya. Ia duduk sementara otakku mengingat-ingat, bahwa me­mang selama aku berada di luar negeri jarang sekali melihat orang yang kutawarkan rokok yang menerima tawaran itu, sekalipun di Indo­nesia terkadang bukan ditawarkan melainkan malah ada yang minta dengan isyarat dua jari ditempel di bibir! Selain itu, kutandai, di luar negeri jarang sekali seseorang menawarkan ro­kok kepadaku, dan jika ada, kebanyakan itu cuma dalam film-film saja!

Episode 3
Perempuan Paris


“Jengkel sekali aku”, kata Henri sambil duduk di kursi berukir itu.

“Kenapa?” tanyaku.

“Aku telah tilpon kau dua kali. Telah ku­tinggal pula nomor tilponku kepada pelayan­ tilpon, tetapi engkau tidak menelpon saya di kampus”, menggerutu Henri.

“Sudah kuduga kamu akan datang kesini”, kataku.

“Begini, Ating”, kata Henri. “Ada seorang temanku sekuliah yang kepingin mempelajari kebudayaan Indonesia”.

“Lalu?”

“Kau bisa menimbun perasaan murungmu dengan dia. Dia gadis lincah, namanya Simone Lundi. Sebuah nama yang puitis bukan? Dan, sekali-sekali kau bisa meneruskan romance ke kampung halamannya di Nancy! Dan, ini akan menolong bebanmu bila kau kawin dengan Si­mone. He, dengar sahabatku Ating! Simone Lundi ini termasuk orang kaya pula di kota Nan­cy. Aku bersama teman-teman pernah berlibur di kota dia ini, dan, Simone Lundi pun punya sebuah toko yang baik di Rue Gambetta dikota tersebut. Kenapa kau diam, sahabatku ? Kenapa wajahmu itu seperti setumpuk boeuf gros sel, ha?”, sengaja Henri membandingkan wajahku seperti boeuf gros sel, sejenis menu makan ma­lam yang selalu kupuji-puji kepada Henri.

“Aku mempunyai Simone Lundi yang lain”, kataku teringat perempuan di avenue de l’Opera.

“Suatu kemajuan, mon petit, suatu kema­juan. Siapa namanya, he, apa sudah kau cium gadis itu?” tanya Henri.

“Belum”, sahutku.

“Kau ini tidak romantis sedikitpun. Kau sendiri pernah menterjemahkan kepadaku sajak penyair bangsamu yang bernama Cerryl Anwar yang berkata: Peluk kecup perempuan, tinggal­kan kalau merayu, kau ingat?”, tanyanya me­nepuk bahuku.

“Untuk kesekian kalinya, Henri, bukan Cerryl Anwar, tetapi Chairil Anwar. Dan me­mang, Simoneku yang belum pula kukenal na­manya ini akan kupeluk kukecup dan kutinggal kalau merayu”, kataku.

Henri tertawa besar mendengar lagak lucu­ku.

“Hari ini ada kemajuan”, katanya. “Apa yang hari ini lebih maju dari kemarin adalah kemajuan. O, Simone yang malang”, kemudian Henri mengeluh.

“Kenapa kau berkata Simone yang malang, he?” tanyaku.

“Maksudku Simone Lundi yang malang. Itu adalah calon yang kedua yang kuajukan kepadamu, dan yang kali inipun mengalami malang buatku sendiri sebagai perantara. Ku­coba mengingat sekarang, sahabatku Ating, ba­gaimana merah kupingku sewaktu Nina Papan­dreou, mahasiswi dari kampus Paris yang cantik itu, memaki-makiku”.

Henri menoleh kepadaku.

“Kau menyesal, Henri, karena kau mengu­lurkan kebaikan memperkenalkanku dengan Nina Papandreou dulu itu? Enam bulan yang lalu itu”, tanyaku.

“Menyesal sekali”, kata Henri. “Bahkan Nina. berkata, bahwa kau seorang Cassanova! Kau marah?”

“Tidak”, kataku, “Karena……..”, tak kuteruskan, sebab keadaan sebenarnya bukan­lah demikian.

“Untunglah kau berdarah dingin. Maka sore ini aku perlu mengucapkan selamat karena hatimu telah terbuka dengan kota kami ini”, kata Henri lalu ia pun pergi setelah meminjam kamus Bahasa Indonesia-Belanda dari perpusta­kaanku.

Setelah Henri pergi, aku merasa sunyi seke­tika.

Bukan aku marah. Dan akupun tak tepat bila marah kepada Henri yang begitu berterus­terang. Juga kepada Nina Papandreou yang memaki-maki Henri yang mengatakan bahwa aku ini seorang Cassanova.

Dan sehabis makan malam di restoran de­ngan menu yang lain dari menu kemarin malam, aku kembali ke hotelku. Seperti tak sengaja saja aku tidak langsung ke tempat tidur untuk tidur, melainkan membaring-baring di sofa dengan hati yang surut-maju. Dan hati yang surut-maju ini terhenti dari goncangannya seketika itu juga, bila kutahu kemudian bahwa aku lagi berbaring­-baring di sofa ini. Sofa ini memang selalu mem­buat aku ingat kepada Nina Papandreou.

Apabila kucoba ingat Nina Papandreou, terkadang aku harus rela dan merela­kan diri dikutuki nenekmoyangku, bahwa buatku gadis kulit putih sebenarnya me­mang lebih menarik dari gadis bangsaku sendiri. Mungkin karena anggapan yang tertanam aki­bat angan-angan sehabis menonton film, atau, karena selama di Indonesia dulu aku tak berun­tung mendapatkan teman dekat seorang gadis Indonesia yang berwajah menarik dan jelita. Atau mungkin karena perasaan seorang lelaki yang ingin tahu belaka. Namun, sewaktu masih bersekolah di Akademi Grafika di Nederland, aku tak menaruh minat kepada perempuan-pe­rempuan Belanda. Tak tahu aku apakah karena sentimen kebangsaan, yang pernah dijajah, atau karena aku seorang pemuda bekas Tentara Pe­lajar, tidak kumengerti. Tetapi perkenalan de­ngan Nina Papandreou memang agak aneh. Henri membawa gadis itu ke kamarku. Di kamar­ku aku memiliki alat gimnastik yang bernama “Adams Trainer”, seperti veldbed, untuk meng­kuruskan tubuh. Dan Nina rupa-rupanya ter­tarik dengan alat pengkurusan tubuh itu. De­ngan lebih dahulu minta ijin daripadaku, gadis Paris itu mau mencoba “Adams-trainer”. Dia minta ijin untuk membuka bajunya. Kemudian, dengan hanya menggunakan bh dan celana pendek, Nina berbaring di atas kasur alat pengkurusan tubuh itu.

Aku sadar benar, bahwa aku ini lelaki nor­mal. Dan sebagai lelaki normal tentu saja aku gelisah bila melihat keadaan Nina itu. Dan ba­gaimanapun normalnya aku, bagaimanapun ber­kali-kalinya aku melihat perempuan dalam pa­kaian mandi sewaktu di Cilincing, Amsterdam atau Rotterdam atau Paris, tetapi lelaki normal adalah lelaki normal. Dan kini, didepan mataku, kulihat Nina Papandreou menelentangkan tu­buhnya pada alat pengkurusan tubuh itu. Kedua telapak tangannya memegang besi pinggiran ram dari alat itu, dan telapak kakinya masuk ke tempat telapak kaki seperti pada pelana kuda itu, dan kemudian kaki itu mengayuh-ngayuh turun naik dan turun naik.



“Bukan”, katanya seperti berusaha me­nutupi perasaan geli sendiri.

“Non, tidak, tidak. Kukira seorang teman­ku yang di Aljazair”.

Dituntunnya sepedanya, tetapi aku kemu­dian memanggilnya “Viens, toi” sehingga dia tak jadi menaiki sepedanya, “Comme ca, ou allez-vous?”, dengan ramah aku bertanya ke ­manakah dia akan pergi, dalam dialek yang baik.

Karena pertanyaanku ini, perempuan itu semakin gugup.

“Tidak”, katanya, “Tidak. Saya hanya pulang”.

“Maafkan saya”, kataku dengan menun­duk hormat, “Janganlah nona salah sangka bahwa saya akan mengganggu anda”.

Oleh sikapku itu malahan dia tambah gu­gup lagi. Didayungnya sepeda, tetapi kemudian berhenti di depan sebuah toko. Dan toko itu ada­lah toko “Ceremonia” tadi juga, toko tempat perempuan bersepeda itu keluar tadi. Ketika dia menoleh lagi kepadaku, kucoba menghi­langkan perasaan yang bukan-bukan. Kutekan perasaan yang sudah selayaknya dipunyai se­orang lelaki, perasaan aktif, ingin memburu kesempatan baik ini, perasaan ingin mendapat teman perempuan baru.

Namun aku masih berdiri jua. Biarpun me­nekan perasaan, tetapi goncangan hati ini belum juga kukalahkan lagi. Dan goncangan hati ini semakin bergoncang lagi apabila mataku melihat perempuan tadi keluar lagi dari toko itu, dan menoleh lagi kearahku. Kucoba menunduk. Dan biarpun keinginan masih menderas untuk melihat dia lagi, kutundukkan juga kepalaku dengan terpaksa. Dan kemudian kepalaku ku­angkat lagi. Usahaku menekan perasaan ini berhasil, karena perempuan bersepeda itu telah lenyap dan pandangan mataku. Baru kemudian aku merasa diriku kuat untuk melawan setiap cobaan pada hari-hari akhir ini.

Kuhela nafas lega panjang-panjang.

Kemudian kakiku melangkah lagi, melang­kah diatas jalanan ini, diatas Avenue de l’ Opera ini.

Hari telah jadi malam begitu aku sampai ke hotelku. Aku bersalin pakaian di kamar hotel­ku. Tetapi sewaktu aku berkaca di depan kaca, ingatanku kembali kepada perempuan berse­peda itu lagi! Kuteliti wajahku, apakah wajahku ini bukan wajah Indonesia tulen. Tetapi ku­anggap saja ingatan demikian adalah ingatan se­orang gila di tanah asing, suatu perasaan kese­pian yang terkadang membikin seseorang ma­buk pada persoalan dirinya sendiri. Tetapi me­mang selama di kota Paris begini lama, aku tak bisa menyangkal bahwa perasaan mabuk ter­hadap pergulatan dengan diri sendiri itu belum juga selesai. Bila kuanggap perasaan mabuk itu karena rindu kepada tanah air, segera kutekan anggapan demikian itu! Tidak, kata hatiku, eng­kau tidak termasuk seorang yang gampang rindu kepada tanah air. Tidak, kata hati sendiri ini, engkau bukan seorang yang sentimentil!

Kepada pelayan restoran kupesan makan malamku. Aku mencoba membiasakan diri un­tuk mengatur menu pada hari- hari belakangan ini. Dan malam ini pun demikian. Kupesan bis­qe de hormad, haricots, verts, buah-buahan dan truite aux amandes, dengan logat bahasa Perancisku yang angkuh menyebutkan satu per­satu pesanan itu. Memang pada mulanya agak canggung juga membuat diri ini menjadi ang­kuh. Tetapi semenjak di Paris aku telah melatih diriku secara tak sengaja menjadi seorang aris­tokrat. Tak perduli kulitku berwarna. Karena disini tak ada persoalan kulit berwarna. Bahkan dari mulut sahabat-sahabatku yang terkadang mengunjungiku ke hotelku, mereka mengatakan bahwa mereka setuju dengan usaha pemerintah­nya untuk membantu Aljazair yang barusan merdeka agar menjadi sebuah negeri yang kuat. Sahabat-sahabatku ini bukan politikus dan se­benarnya tak ada kepentingan apapun dengan Aljazair. Mereka semua mahasiswa. Tetapi istimewanya mereka mendapatkan simpatiku, karena mereka itu orang Perancis, suatu bangsa yang pernah selama bertahun-tahun menjajah negeri di benua Afrika itu.

Aneh, bila aku akan tidur, melintas lagi dalam ingatan ini perempuan bersepeda pada sore hari itu kulawan fikiran gila itu lagi! Aku ini bukan orang yang kesunyian! Aku tak bu­tuh perempuan! Aku bukan orang sentimentil, — hatiku memaki fikiran yang berangan-angan itu. Tapi yang kurasa lebih aneh lagi, pada be­sok sore itu, aku berada lagi di avenue de l’Ope­ra, dan berdiri ditempat aku berdiri kemarinnya.

Dan, anehnya, perempuan yang kemarin kutegur itu, lewat lagi di depanku naik sepeda, kemudian berhenti di depan toko “Ceremonia”, toko yang kemarin juga, dan perempuan itu menoleh lagi kepadaku, dan dia malu karena aku memergoki dia menoleh itu, dan, kemudian dia masuk ke toko itu, kemudian keluar toko lagi mengambil sesuatu yang mungkin terlupa dalam tas dibagasi sepedanya, tetapi kemudian : Dia menoleh lagi. Dan akupun berbuat lebih gila! Sewaktu perempuan itu masuk lagi ke toko mode itu, memang mulanya aku berfikir harus meng­gunakan kesempatan in karena, kalau dua kali sebuah kesempatan dilewatkan, aku akan kehi­langan nasib baik! Tetapi hatiku sudah beku untuk tunduk kepada berbagai logika pada hari-hari  akhir ini. Dan aku bukannya pergi menemui perempuan itu didalam toko itu, melainkan ber­jalan terbirit-birit menyeberang, lalu pulang ke hotel.

Pelayan hotel mengatakan kepadaku, bah­wa ada seseorang yang menelpon untukku se­waktu aku berjalan-jalan tadi.

“Biarlah”,.kataku, “Nanti orang itu akan menelpon lagi”.

“Dan ini nomor tilponnya disuruh catat­nya, Monsieur”, pelayan hotel memberikan sehelai catatan nomor tilpon.

“Merci, petit”, kataku berterima kasih.

Episode 4
Perempuan Paris


O, terutama betisnya itu.

Bulu-bulu yang pirang pada betis itu mulai dibasahi keringatnya, dan kini tubuh Nina mulai bermandi keringat dan sempurnalah ia seperti patung Venus yang bisa bergerak-gerak, sewaktu kakinya bergerak-gerak mengayuh-ngayuh  per spiral alat itu.

Aku malu sewaktu Henri menepuk bahuku.

“Menarik juga”, kata Henri.

Dan Henri yang selalu mengaku berani ber­gurau terang-terangan di hadapan jenis gadis se­kalipun, kali itu membuktikan. Henri berkata keras sekeras sopir-sopir taksi Paris meneriak­kan penumpang yang akan pergi ke Bordeaux, kata Henri: “Adduh! Yang menarik bukan alat itu, tetapi tubuh yang bergerak~gerak itu, Mon­sieur Ating! O, benar-benar mirip Sophia Loren dalam film!”

Nina Papandreou rupa-rupanya kenal de­ngan watak Henri.

Gadis itu tertawa mendengar gurau bergaya sopir Bordeaux tadi itu sehingga akupun memberanikan diri untuk berkata:

“Bukan mirip Brigitte Bardot?”

“Aku adalah paduan Sophia Loren dan Bardot”, kata Nina Papandreou yang membikin aku merasa terkejut mendengarnya. Dan, setiap lelaki memang pantang dikasih hati, lalu akupun menyempurnakan sifat-sifat lelakiku, melebihi sopir taksi, kataku:

“Penuh daya magnit gerakan-gerakanmu itu, Nina”. Dan Henri tak urung menyeletuk saja:

“Bilang saja kepada Nina bahwa engkau kepingin memeluknya sekarang dalam keadaan begitu”.

Kurasa, aku memang kalah cepat untuk memilih gaya bahasa sopir taksi di Paris ini, taksi pelabuhan yang biasanya imigrant-imigrant dari Itali. Setelah Henri berkata begitu, aku tak bicara lagi, sekalipun bibir ini rasanya kepingin sekali untuk mengatasi kata-kata Henri. Baru kemudian kami berkenalan secara baik, setelah Nina Papandreou puas mempermainkan alat pengkurus badan, “Adam Trainer”-ku itu.

Kulihat pembukuan sisa uangku pada buku­ catatanku dan kemudian aku berkata kepada Henri dan Nina:

“Aku akan traktir kalian makan malam di restoran sebentar lagi. Apakah kalian berdua bersedia?”, tanyaku.

“Tentu saja, bukan, Henri?” kata Nina. “Tadi jam tiga aku sport bersepeda karena takut kehabisan musim panas. Dan setelah jam yang lalu ini aku main Adams-Trainer. Perutku memang lapar tentu”.

Aku gembira terutama karena Nina Papan­dreou menerima ajakanku itu. Dan tak pusing aku lagi pada jumlah angka-angka sisa uang pada buku keuanganku yang sudah kubiasakan semenjak di negeri Belanda.

“Apakah kalian berdua bersedia menunggu aku sebentar?” tanyaku.

“Mau kemana lagi kau?” tanya Henri.

“Sudah terbiasa dari tanah air bahwa aku harus mandi pagi dan sore hari, sahabat!” kata­ku, “Dan kalau kalian bersedia, sementara aku mandi kalian berdua kupersilahkan membong­kar buku-buku dalam perpustakaan di ruang se­belah kamarku ini. Aku hanya sebentar saja”.

“Silahkan”, kata Nina dalam suara lembut.

Dan, direstoran, kuperiksa menu sejenak, lantas aku berkata, terutama kepada Nina Pa­pandreou:

‘Sekalipun kalian boleh memilih menu yang kalian sukai”, kataku dalam bahasa Pe­rancis berlagak tuan besar, “Tetapi diantara yang tertera di sini akan kuperkenalkan menu yang sangat lezat, yaitu: Boeff gros sel dengan Salade de Cresson, Potage campagnard. Mousse au chocolat, apakah kalian setuju? Atau boleh juga kalau Nina mau pilih: Soupe gratinee dan lain-lain itu, dengan kombinasi Champignons de Paris, he?

“Bagaimana Henri?”

“Aku memilih what your choice”, katanya mencampur dengan bahasa Inggeris setelah tadi dalam obrolan Henri mengatakan bahwa aku lebih bisa dengan tepat berbahasa Inggeris se­kalipun dua tahun mati-matian belajar bahasa Perancis dengan Henri.

Aku gembira pada saat makan-makan itu. Tetapi bukan pada saat dinner itu saja yang membikin aku gembira. Pada hari-hari benikut­nya Nina papandreou menjadi simpatik dalam pandanganku, terutama kalau gadis Paris ini membuat lelucon berbahasa Perancis dicampur Inggeris dalam logat Perancis yang tak bisa di­hapusnya.

Hampir-hampir semua ajakanku tak pernah ditolaknya. Makin hari makin kukenal dia gadis Paris yang gemar kepada humor. Dan ini kuke­tahui sewaktu kami melihat-lihat acara film di surat kabar, yang dikota ini selalu dijelaskan apakah film itu film adventure atau film lucu atau detektif atau film music atau romance bia­sa, maka Nina menunjuk:

“Ini! Film de comedie policiere!”, serunya. “Kau suka sungguh-sungguh kepada film humor tegang ginian?”

“Suka sekali”, katanya.

Dan kami mengunjungi cinema. Memang film itu film lucu sekali, menceritakan aktor Paul Meurissc yang memerankan peranan bandit Al Capone, berhadapan dengan aktor Alex Jof­fe. Sepanjang pertunjukan Nina Papandreou tak henti-hentinya ketawa. Pada waktu pulang, kutanyakan kepadanya: “Aktor Perancis mana kesayanganmu?”

“Aku suka dengan auteur Alex Joffe. Kami di kampus mahasiswi semua menyukainya. Pernah kami menonton auteur itu sebagai pahlawan dalam film Pas question le samedi”, katanya seraya melengketkan pegangannya pada lengan­ku.

Belum pernah menara Eifel kulihat seindah pada malam itu.

Perempuan Paris


Sambil berjalan kaki begitu, darahku ber­debar sekali memikirkan apakah yang mesti du­luan kubilang. Seakan-akan aku akan membuat sejarah penting di bawah menara bersejarah ini. Kemudian kupegang kedua bahunya, dan de­ngan gementar kutanya “Boleh kucium bibir­mu disini?”

Mendengar caraku meminta jim untuk men­cium bibirnya dengan suara gugup begitu, gadis Paris ini tersenyum dan jari-jarinya meraba bulu-bulu pendek pada daguku yang kulupa untuk dicukur, dan, bisiknya:

“Boleh saja”.

“Kau tidak marah?”

“Kenapa harus marah. Berhari-hari kita bersama, kita saling menyenangi”, kata Nina Papandreou. Kupandangi rambut pirangnya terjurai-jurai ditiup angin musim panas.

Gementar telunjuk-telunjukku menyelusupi rambutnya yang pirang. Kuketahui kancing baju atasku dua buah dibukanya, dan jari-jarinya menyelusupi bagai akan menghitung tiap helai bulu dadaku yang bertumbuh lebat dan rajin kuminyaki saban hari dengan mentega. Nafas­nya berdesah sewaktu bibirnya seakan-akan ku­remas dengan keberahian penuh, ibarat kuda jantan yang lepas dari kandang, tanganku me­nyelusup memasuki blousenya, dan Nina Papan­dreou merengek dengan nafasnya mengalun­-alun, tetapi kemudian dia tersentak melepaskan pelukannya.

“Man kita menyewa gondola”, katanya, menyeret lenganku.

Pcrkataan “sewa” berarti harus mengeluar­kan uang! Tetapi kebiasaanku yang terpimpin semenjak diam dua tahun di Negeri Belanda pada malam itu lenyap, tak sedikitpun tertinggal di otakku. Dalam taksi disebelahnya aku duduk.

Gadis Paris ini meremas-remas jari-jariku, dan jari-jariku bergelut dengan jari-jarinya, sedang­kan otakku masih saja memikirkan perkataan “gondola” itu. Ingin bertanya kepadanya, aku khawatir nanti Nina tersinggung. Melihat gela­gatnya sewaktu kuciumi dan kuremas-remas ba­hagian dari dirinya itu, aku menduga aku akan dibawanya kesebuah tempat semacam villa di tepi pantai, dan menyewa tempat itu, lalu tidur ber­sama dia hingga pagi. Baik dari cerita-cerita Henri ataupun karangan~karangan Henri Miller yang laris dikota Paris in sudah biasa lelaki dan perempuan yang saling menyenangi untuk menyewa villa, atau rumah biasa, atau dirumah­nya sendiri, dan melepaskan birahinya masing­-masing sepuas-puasnya. Apakah gondola ini semacam demikian itu? Dan otakku tiba-tiba ber­kelahi. Perasaan takut memburu dan mengan­cam hari-hariku yang lampau, yang senantiasa bisa bertahan terhadap perasaan suci, yang entah benar-benar suci entah tidak, yang selalu ku­anggap menang dan moral buruk yang seperti setan selalu menggoda otak semenjak aku meng­injak tanah asing meninggalkan tanah air.

“Apa itu gondola?” tanyaku pada Nina memberanikan diri, tak perduli apakah Nina Papandreou ini akan tersinggung ataukah tidak.

Dia tersenyum. Tangannya menggenggam telapak tanganku. Tangan kanannya memper­mainkan ujung hidungku.

“Kita ke Canal”, katanya.

“Sungai Seine?” tanyaku.

“Ya. Kita menyewa gondola disitu. Sebaik­nya kita pulang pagi. Kau setuju?”

Bah! Perasaan suci yang tak kuketahui sampai dimana kesuciannya, mulai luntur Se­waktu telingaku mendengar bisiknya yang lem­but, yang menyatakan aku ini lelaki romantis, dan dalam bisikan itu nafasnya mendera-dera lubang telingaku ketika itu, melunturkan apa yang selama ini kuanggap agung, sekalipun se­lama ini aku menyadari perasaan suci itu yang selama in.i kuanggap suci aseli tetapi lama kela­maan kuanggap kesucian palsu, palsu karena ke­sucian ini bersandar atas perhitungan laba-rugi, seakan-akan hati ini melakukan jual beli dengan hati sendiri seperti ini : Jika kulakukan ini, nanti risikonya bagaimana.

“Alangkah indahnya malam musim panas yang terang begini. Apalagi bersama-samamu di gondola, sayang”, kata Nina, dan kata-kata itu pelahan sekali, lebih banyak kurasakan na­fasnya di telingaku daripada suaranya.

“Apakah di negerimu ada gondola?” tanya­nya kemudian.

Karena membayangkan gondola itupun aku sendiri belum bisa saat di atas taksi yang melun­cur pelahan itu, maka akupun ketika itu mem­bayangkan saja Villa di Puncak, Cipayung atau dimana saja, atau, lebih rendah lagi rumah sewa pelacur elite, atau lebih rendah lagi daerah pela­curan Planet dari Tanjungpriok.

Sopir taksi ini sopir celaka juga! Jalannya mobil semakin lambat, apakah ia mau memperlama jam perjalanan supaya ongkos taksi yang diperhitungkan jamnya nanti bisa dikeruk lebih banyak? Heran, akupun mulai membuat kalku­lasi lagi seperti bekas kebiasaanku di Nederland. Dan kebiasaan itu pudar lagi sewaktu kurasa hangatnya tubuh Nina yang kurasakan nafas­nya menyelusup sela- sela  bulu dadaku, seakan nafas itu menerjang pula pusar-pusarku saat itu, membuat aku mengamuk, memeluknya ke­tat-ketat dan dia merintih dan tak kuperdulikan lagi gondola itu apa dan dimana dan bagaimana dan tak kuperdulikan lagi perbedaan nilai antara suci palsu dan suci aseli atau suci sejati, apakah nafsu dalam berpeluk ini akan terdampar di sorga atau neraka - semua lenyap - batas itu hilang dalam liuk tubuhnya yang merontakan kegairahan yang meluap itu, kulihat matanya nyalang berbinar-binar, dan dalam binar itu kutemui keindahan dalam nikmat dan ketakutanku akan ditimpa sengsara, dan begitupun rengek suaranya bagai menghilangkan batas apa­kah itu rayuan setan ataukah nikmat sorga yang akan dia berikan padaku — semua hilang bentuk hilang batas — dan kenyataan meme­nangkan semua nilai-nilai itu pada akhirnya sewaktu telapak tanganku kutarik cepat dari dalam blousenya dan yang kurasakan mobil kami bergoncang karena sopir menekan rem de­ngan mendadak.

Sopir taksi ini berbahasa Perancis dengan lembut pada kami: “Maaf tuan dan nona, saya telah mengejutkan anda berdua. Anak kecil ke­parat itu, lihatlah, ia masih sempat tertawa”.

Kubuka kaca jendela, kulihat seorang anak memandang kami.

“Hampir ia mati kalau tidak saya tekan rem”, kata sopir lagi. Tidak, tidak, janganlah kau berkata demikian itu, —kata hatiku seperti kepada sopir. Melihat anak kecil berumur lima tahun itu, sekonyong aku teringat kepada tanah air. Hatiku melelehkan airmata, tapi mataku me­nahan arus pedih bagai kena listrik pada pelupuk mata ini, mencegah jatuhnya airmata.


Episode 6
Perempuan Paris


Sedan taksi ini berjalan lagi.

Selera jantanku berkurang untuk mencum­bu, sekalipun Nina makin bertambah galak. Bahasa nafas, bahasa rintih, rengek perempuan dalam puncak gairah pada akhirnya sama saja di dunia ini: Kutahu, yang dia nafaskan, yang dia rintihkan, yang dia rengekkan adalah ke­butuhan terakhir dari semua yang semua.

“Itu gondola, kekasihku!”, seru Nina. Ku­lihat cepat ke sana itu, mau tahu macam apakah gondola itu.

Mataku seakan meloncat mau mengetahui bagaimana mesranya menyewa gondola bersama gadis Paris berambut pirang yang meruntuhkan imanku ini. Tetapi ternyata tidak ada manusia yang paling bodoh di dunia jika tidak menge­tahui arti perkataan gondola. Percuma beberapa mil keluar dari kota Paris menuju canal ini untuk membayangkan yang bukan-bukan, mulai dari villa sewaan termahal di Puncak untuk menyeret perempuan sampai rumah sewa yang paling ren­dah di Planet Jakarta, O, betapa tololnya diriku ini membayangkan yang bukan-bukan karena otak sudah dikangkangi oleh setan-setan yang mengaku akan membawa nikmat.

Kalau itu gondola, kataku dalam hati, ribu­an ada di tanah airku Indonesia!

Gondola ternyata hanya sebuah perahu de­ngan seorang tukang dayung! Aku sudah biasa menyewa yang beginian di Cilincing, di Sampur Tanjung Priok bersama Sutijah di Jakarta se­masa masih diombang-ambingkan masa muda yang romantis. Bahkan setelah perang berakhir dan kulanjutkan lagi sekolahku di SMA Jogya, gondola beginian pun ada di Jogya di Taman Rekreasi Gembira Loka, sekalipun tak ada canal dan lautnya.

Timbul perasaan hambarku setelah melihat apa itu gondola. Tetapi kubayar juga sewa taksi, sedangkan Nina Papandreou kudengar bercek­cok dengan sopir soal jam-sewa-taksi tadi itu.

“Sudah. Tak perlu bertengkar dengan so­pir”, kataku.

‘Kenapa?”

“Dimana-mana sopir sama saja di dunia. Mau benar sendiri”, kataku.

“Tetapi nanti kau rugi. Uangmu mau dikeruknya karena sopir ini tahu bahwa kau bukan orang Paris”, kata Nina, dalam bahasa Inggeris berbisik.

“Ah, di negeri saya juga sopir taksi naikkan harga kalau melihat orang kulit putih yang me­nawar. Sedang Negro juga dinaikkan harga, itu jamak, dimana-mana sama”, kataku men­jawab dalam bahasa Inggeris yang agak keras.

Pada kaca perahu sewaan yang bernama gondola ini, aku melihat tarif yang tertulis ada­lah F 3, — Kalau sebatang rokok Newport dihi­sap tiga menit, maka dua puluh batangnya enam­ puluh menit, maka tarif ini cukup memadai. Menghisap rokok nikmatnya tersendiri, menye­wa gondola dengan berduaan gadis Paris, juga nanti nikmatnya tersendiri pula. Tapi F 3,— satu jam sampai pagi? Kufikir ini tidak main-main.

Rupanya otakku yang mulai berhitung itu diketahui juga pada akhirnya oleh gadis Paris berambut pirang ini. Dia menyeretku, katanya:

“Jangan takut. Tadi aku menerima uang via bank dari bapak tiriku di Luxembourg”.

“Bapak tiri?” tanyaku.

“Ya. Apa kau tidak mendengar dari teman kita Henri perihalku? Aku pernah bercerita me­ngenai bapak tiriku ini kepada Henri, tentulah Henri telah menceritakan hal itu kepadamu”, katanya.

“Nina. Aku belum mendengar”, kataku naik ke gondola.

Gondola mulai berlayar diatas sungai Seine itu.

“Nanti akan kuceritakan sekali waktu”, katanya kemudian dengan mengeluh, “Tetapi sekedar untuk tidak mengkhawatirkan keuang­anmu menyewa gondola ini sampai pagi, baiklah kukatakan bahwa bapak tiriku adalah seorang milyuner”.

Nina Papandreou, gadis Paris ini mungkin mengira bahwa aku akan kaget mendengar ba­pak tirinya seorang milyuner. Tidak. Perancis telah ditimpa bencana inflasi sehabis Perang Dunia Kedua, dan milyuner orang Perancis adalah berbeda dengan milyuner Amerika atau Inggeris misalnya. Tapi kemudian kusadari wa­jah dinginku, makanya aku berkata:

“Tentu bapak tirimu seorang jempolan”.

“Ya. Tentu saja. Jempolan. Surat ibuku yang terakhir kuterima menyatakan, bahwa pabrik pisau cukur suaminya mengalami kepe­satan dan bersaing dengan milik perusahaan orang Belanda disana itu. Seharusnya ibu berbahagia setelah menderita”, kata Nina kemudian.

“Peperangan telah membikin ummat ma­nusia kehilangan wataknya”, kata Nina Papan­droeu.

Perkataannya sangat berharga pada saat perahu mulai oleng. Kubiarkan saja ia menciumi dadaku sewaktu aku menelentangkan diri di atas perahu ini, karena aku tertarik kepada ucapan­nya tadi, bahwa peperangan telah membikin ummat manusia kehilangan wataknya Negeri kami pun telah ditimpa bencana peperangan, kataku dalam hati. Tetapi apakah yang dimak­sud dengan hilangnya watak ummat manusia ini karena manusia semakin manja dengan ma­teri, perempuan sering merongrong suaminya karena tidak bisa menaikkan dari demands tiap individu, aku tak mengerti.

“Akan kuceritakan kepadamu, mon Ating, bagaimana dahsyatnya peperangan yang men­jadikan manusia menjadi kepingan-kepingan manusia, sekalipun tubuhnya memakai baju, sepatu, dan dipandang sempurna dari luar”, kata Nina lagi dengan menindihkan kepalanya pada dadaku yang terbuka. Angin yang mulai terasa ketika berhembus begini, menyebabkan lembaran-lembaran rambutnya menyapu-nyapu ujung hidungku ketika itu, sehingga terasa oleh hidungku saat itu paduan antara eau de cologne dengan bau keringat aselinya: keringat kulit putih yang mengganggu pernafasanku.



Episode 7
Perempuan Paris


“Ceritalah tentang dirimu”, katanya de­ngan suara aleman.

“Aku orang Indonesia”, kataku.

“Aku telah tau dari Henri. Apalagi?” ta­nyanya.

“Aku sadar bahwa aku sekarang berada di tanah asing”.

“Apalagi ?”

“Aku sadar bahwa aku meninggalkan ne­geriku untuk menambah pengetahuanku, untuk kemudian bisa mempertinggi taraf hidupku bila pulang”.

“Apalagi, katakanlah!”

“Negeriku menderita sakit setelah perang kemerdekaan membebaskan diri dari penjajah­an. Ekonomi kami collapse. Kau baca surat ka­bar, kau bisa tau hal itu”, kataku.

“Dan kau? Sampai ke Paris sini. Apa se­bab?”, tanya Nina.

“Mungkin karena takut kepada diriku sen­diri. Takut memikul penderitaan dan beban hi­dup lagi. Dan kota ini menjadi pelarian”, kata­ku.

Nina Papandreou mengeluh amat dalam.

Ketika kuelus pipinya sekedar melupakan ketakutanku sendiri setelah banyak berterus terang, kulihat ia membuka kancing blouse ber­bentuk kemeja itu. Mataku pada bagian dada­nya yang terbuka. Darahku mendenyutkan selu­ruh syarafku.

“Udara panas sekali. Kubutuhkan angin Iaut. Makanya kancing kemejaku kubuka”, kata Nina Papandreou sebagai excuse padaku.

Mataku terpesona memandangi gadis Paris ini. Dia seolah-olah tidak tahu bahwa aku se­dang memperhatikan dua kancing blouse ke­mejanya itu. Dia pun seolah-olah terapung de­ngan angan-angannya sendiri. Dan aku: akupun oleng seperti olengnya perahu yang membawa kami ke tengah pada malam benderang begini!

Otakku membayangkan, apakah Nina Pa­pandreou ini masih perawan! O, alangkah jeleknya aku sampai berfikir begitu. Kenapa aku ha­rus pula memperhitungkan hal ini. Jangankan di kota universal seperti Paris, di Jakarta saja sulit untuk mempercayai diri masih ada gadis-­gadis berpergaulan bebas yang masih perawan. Bah! Kenapa aku harus memikir ini!

“Nina”, kataku.

Rupanya Nina hanya memejamkan mata. Dia tak tidur dalam pangkuan itu. Dia duduk. Dan sambil duduk dalam pangkuanku itu ke­palanya disandarkannya pada leherku. Rambut­nya menyapu-nyapu leherku.

“Aku berpendapat, Nina, bahwa ada hal-hal yang menyebabkan kau tadi berkata, bahwa peperangan telah membikin ummat manusia kehilangan wataknya?”, tanyaku.

“Suatu sebab yang sederhana. Bapakku tewas dalam perang dunia yang lalu. Lalu ibuku kawin dengan lelaki Luxembourg itu. Dan aku ­pun menjadi seseorang yang kesepian”, kata Nina Papandreou.

“Ah. Karena itu saja kau membenci pe­rang?”, tanyaku.

“Banyak yang lain yang tak usah kucerita­kan kepadamu”, katanya. Karena dia tak mau menceritakan yang lain itu, aku menjadi kepi­ngin tahu siapa Nina Papandreou ini sebenar­nya. Aku telah banyak kenal dengan gadis-gadis Paris ini. Dua tiga gadis bahkan kukenal di cafe Les Deux Magots, cafe yang mengingatkanku pada seniman-seniman Senen, karena di cafe inilah berkumpulnya seniman seniwati sampai larut malam. Gadis-gadis seniwati itu berbicara dengan sangat terbuka, tentang apa saja! Tetapi selama berkenalan dengan Nina papandreou belakangan ini, Nina Papandreou begitu lincah, seakan-akan gatal kepingin dijamah terus, na­mun selalu ada suatu rahasia yang disembunyi­kannya begini, seperti di malam ini dalam perahu gondola di sungai Seine.

Jauh nun disana, aku melihat menara Eifel yang benderang terang, symbol kota Paris. Nina Papandreou masih membungkam sementara aku berkhayal apa sebab Nina Papandreou kali ini tak mau berterus terang tentang satu hal. Atau­kah hal itu karena suatu noda dalam dirinya, aku tak tahu. Tetapi karena pertanyaanku itu, Nina Papandreou kulihat jadi murung. Belum pernah pula dia semurung ini.

Rambut-rambut pirangnya menyapu-nyapu hidungku, menyebar paduan bau shampoo de­cologne dan bau keringat aseli perempuan kulit putih. ini membuat aku tak berpikir panjang. Kuturunkan keningnya pelan-pelan, kuciumi le­hernya, kuciumi bawah telinganya, kemudian terus kuciumi belahan dimana dua kancing blouse kemejanya terbuka itu, dan Nina menjerit senang, tertawa-tawa.

 ‘Kenapa?” tanyaku dengan malu.

“Kau lelaki agresif”, katanya menutup blousenya.

“Aku jengkel sebab kau tak mau menceri­takan sesuatu rahasia”, kataku.

“Ah kau! “, dikerumasnya rambutku.

Memang baru pada malam itulah aku me­rasa betapa indahnya menara Eifel, sebab pada malam itu aku lebur dalam olengan muara su­ngai Seine, pandanganku kabur mnyambut dini ­hari, dan siangnya aku tak bisa mengantuk di ­kamar hotelku karena mengingat Nina Papandreou.

Aku belum mau menamakan malam itu malam dimana aku jatuh cinta pertama kali de­ngan gadis Paris. Malahan aku meragukan diri­ku sendiri. Dan meragukan Nina. Dan meragu­kan pandangan hidup manusia zaman sekarang. Malam dalam perahu oleng dengan hembusan angin itu hanya sekedar memenuhi seleraku se­bagai lelaki. Segala yang berbau romantis, sifat pura-pura, dibuat-buat, akal bulus, berdusta, semua rasanya bersatu dalam gerak tangan yang membelai, gerak tubuh Nina yang menggeliat dan kukira semua itu hanya akan menambah kosongnya keyakinanku, bahwa dunia ini masih ada.
Episode 8
Perempuan Paris


Malamnya Nina Papandreou datang kembali. Kali ini dikuncinya pintu kamar hotel.

“Kenapa kau kunci?” tanyaku.

“Aku khawatir bila bercumbu ditontoni kucing. Aku melihat kucing Turki di corridor Se­belum masuk kamarmu ini tadi”, kata Nina.

“Bagaimana kalau kita lewatkan semalam suntuk ini”. kataku.

‘Membosankan di gondola”, kata Nina.

‘Kenapa?” tanyaku.

“Pendayung gondola itu terkadang mengin­tip kita”, katanya.

“Bagaimana kalau kita hanya jalan-jalan saja malam ini, Minum-minum di cafe Les Deux Magots?”

Karena Nina Papandreou membelakangiku saat itu, aku tak bisa menerka bagaimana pero­bahan wajahnya. Kulihat hanya anggukannya yang perlahan. Tetapi aku pantang merobah ajakanku. Aku harus tunjukkan caraku yang tegas dan tak hanya suka mengikuti kehendak kaum perempuan saja. Sekalipun dia tampaknya menghendaki semalam penuh ini ada di kamar­ku, tetapi aku menghendaki lain! Aku kehen­daki agar dia lebih banyak membuka diri ten­tang masa lampaunya. Aku bukan orang Penan­cis. Aku orang Indonesia di negeri asing ini. Yang kubutuhkan kepastian hati.

Taksi berhenti dipinggir jalan, tepat dide­pan cafe. Cafe ini terletak di sebelah trotoir, dan satu-satunya cafe yang masih antik di Saint ­Germaindes-pres quarter. Kursi-kursi tempat duduk meluber ke trotoir. Kulihat banyak seni­man dan seniwati yang itu-itu juga. Ketika kami duduk berhadapan dan kusuruh Nina meminta minuman dan makanan apa yang akan dipesan­nya, teringat aku pada tahun 1955 dahulu, di Senen Jakarta, di warung Ismail Merapi, dimana duduk para seniman seperti Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Ardan, Ajip Rosidi dan Syumanjaya, Wahid Chan selaku walinya, me­ngobrol minum bier sampai pagi. Kini mereka itu bagaikan kutemui di Paris, dipojokan buncu Senennya Paris, di Cafe Les Deux Magots, wa­rung Ismail Merapinya Paris.

Jauh malam baru kami berdua kembali ke hotelku. Dia membuka jasnya. Lalu menghela nafas panjang. Dan berbaring pada sofa dipojok kamarku.

Tetapi malam ini bukan Nina Papan­dreou yang berbaring disofa ini. Melainkan aku. Aku yang diliputi ke­nangan terhadapnya. Nina Papandreou takkan mungkin lagi berbaring di sofa yang kubaring­kan diriku disini ini. Nina Papandreou telah lama lenyap dari hinggapnya dalam hidupku. Itu telah menghilang enam bulan yang lalu. Dan kepergiannya memang memedihkan sekali. - Bu­kan saja memedihkan dia, tetapi juga memedih­kan buatku. Tidak heran jika sahabatku Henri mengutuki, yang menganggapku sebagai lelaki tidak berpendirian.

Tetapi memang persoalannya sangat seder­hana. Aku kepingin banyak tahu tentang dia. Dan dia pun bercerita tentang dirinya, tentang masa kecilnya sewaktu Jerman menduduki kampung­nya. Kemudian, dalam keadaan masih bayi Nina dibawa ibunya ke Paris.

“Kau tahu, Ating. siapa diriku? Bukan anak seorang ayah yang ditembak Jerman, te­tapi mungkin ayahku seorang tentara Nazi yang membutuhkan hiburan pada suatu malam. Dan dicarinya seorang perempuan yang membutuh­kan sepotong roti. Dan perempuan itu adalah ibuku. Jadi jelas olehmu, aku ini kira-kira anak tentara Nazi?”

Itu dikatakannya enam bulan yang lalu sambil berbaring diatas sofa ini. Aku yang begitu bersemangat mau mencumbunya malam itu, dalam kamar terkunci, sekonyong merasa lutut­ku goyang, hatiku direnggut oleh takut. Anak haram! Anak haram tentara Nazi yang sedang berada di kamarku. Tubuhnya yang montok pa­dat, rambut pirangnya yang menimbulkan se­lera, rengek-tangisnya yang aturannya menim­bulkan hiba, dalam diriku semuanya ketika itu berobah menjadi benci. Entah kepada siapa ke­bencian ini harus kulemparkan. Kepada diriku sendiri? Kepada ibu Nina? Kepada tentara Nazi? O, baru kuingat kini. Nina Papandreou dulu pernah bercerita kepadaku, bahwa peperangan telah membuat manusia kehilangan wataknya. Kepada itulah harus kulemparkan benciku.

“Telah kau dengar?” kata Nina kemudian, sambil bangkit berdiri, berdiri dari sofa itu, ke­mudian mengambil jasnya, siap untuk berang­kat. “Jadi setelah engkau mendengar siapa diri­ku ini, engkau pun menjadi hambar. Kau melihat diriku kini dan selanjutnya sebagai najis. Aku anak selokan. Tetapi aku telah ada. Dan aku tak mau diombang-ambingkan oleh zaman ini lagi. Ketika kutemui kau dan kita berhari-harii dan siang malam bersama, kukira engkau benar­-benar orang Timur yang berbudi tinggi, seperti aku mengagumi India, Tagore, Muangthai, dan Borobudur, Ating! Nyatanya: Semua ma­nusia sama. Tak lebih dari kesenangan yang kepingin dipetik manusia. Sesudah itu, bahkan biji buah appel pun manusia tak mau mengu­nyahnya. Dan sekarang aku akan pulang, pulang dengan perasaan puas, bahwa aku telah berke­nalan dengan Timur. Timur kukira masih aseli, dan nyatanya telah berobah. Tentulah yang merobahnya adalah peperangan juga, seperti eng­kau ceritakan, bahwa negerimu pun ikut ambruk akibat perang itu. Apakah kau dan aku sama-­sama kehilangan watak?”, tanyanya dipintu.

“Sama. Kita sama kehilangan watak”, kataku menekan perasaan.

Mata Nina Papandreou melinangkan air­mata.

“Terimakasih karena kau mengakuinya, Ating”, kata Nina Papandreou.

“Yang penting manusia mengakui kedirian­nya. Keindahan, kata-kata manis dan cumbu mesra, sudah kita lewatkan dalam hari-hari yang indah belakangan ini di dalam gondola, di bawah menara Eifel, di bawah patung di Place de la Concorde, dan di kamarmu ini. Semua kemes­raan telah kita lalui semesra-mesranya dengan segala kepalsuan. Bukan begitu?”

“Ya”, sahutku terperangah.

“Tetapi satu hal, Ating mon ami, ingatlah. Semua kemesraan itu kita perbuat hanya untuk mengisi sepi. Sebentar lagi kita berpisah. Dan aku tak ingin jumpa lagi dengan kau. Kaupun tak perlu lagi jumpa dengan diriku. Setelah perpisahan ini percayalah, mon ami, kita akan masuk ke jurang yang lebih sepi lagi”.


Episode 9
Perempuan Paris


Lalu Nina Papandreou tak berkata lagi. Dia telah pergi.

Dia telah pergi! Pergi untuk selama-lama­nya tanpa ketemu lagi denganku. Tetapi benar seperti yang dikatakannya: Aku dicekik sepi, berada di jurang sepi dalam kamarku ini, atau apabila aku melangkahi jalan-jalan rue, boule­vard, avenue, cafe, semua Kota besar Paris seperti menghimpit lagi kesepianku ini!

Dan kini di kamar hotelku, di sebuah sofa, aku harus mengakui, bahwa aku kesepian se­kali, butuh teman dan ditemani. Makanya aku berniat, besok sore aku harus berada di tempat kemarin dan kemarinnya lagi. Di avenue de l’ Opera tak jauh dari toko “Ceremonia”.

Dan memang besok sorenya aku telah ber­diri di sudut avenue de l’Opera, memandang ke toko mode itu, kalau-kalau berjumpa dengan perempuan bersepeda yang menyangka aku pe­muda Aljazairia.

Satu jam telah membikin lututku pegal ber­diri.

Kufikir perempuan yang kemarin itu takkan lagi datang. Aku berniat untuk pulang saja ke hotel. Biarlah mampus dikoyak-koyak sepi. Aku mulai melangkah lesu dengan putus asa, bahwa memang amat gila untuk menunggu pe­rempuan bersepeda kemarin itu. Sebaiknya aku menganggap angan-angan ini sebagai kegilaan seseorang yang kesepian ditanah asing. Lebih baik aku pulang dan menilpon Henri. Akan ku­katakan kepada Henri bahwa aku bersedia ber­kenalan dengan Simone Lundi. Lalu aku pacar­-pacaran saja dengan Simone Lundi tanpa meng­hiraukan apa-apa, dan juga tanpa cinta, kecuali kepuasan dan kesenangan. Dan memang sebaiknya aku menuruti nasehat Henri bahwa perem­puan ibarat ikan betina dikolam tanpa menghargai lebih dari itu.

Tiba-tiba telingaku serasa mendengar suara di belakangku:

“Monsieur!”

Aku menoleh. Seorang perempuan melang­kah ke arahku. Tanpa sepeda. Rambutnya pun lain dengan perempuan bersepeda kemarin dan kemarinnya. Gaun sorenya begitu indah, menari-nari ditiup angin. Dia melangkah pasti ke arahku.

“Nona yang memanggil saya?” tanyaku. “Benar, Monsieur”, sahutnya canggung. Wajah gadis ini pucat sewaktu aku menentang pandangan matanya ketika aku menyalami­nya dan memperkenalkan namaku. Gerak-gerik­nya tidak lincah, sekalipun dia mencoba me­lincahkan diri dengan canggungnya. Dan aku sendiripun agak canggung memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong jasku.

Seperti sudah bersetuju lebih dahulu, kaki­ku bersama-sama kakinya sama menapak melangkahi trotoir.

“Aku lupa namamu”, kataku dalam bahasa Perancis.

“Loraine”, katanya ketawa kecil, “Loraine Debussy”.

 “O, ya. Loraine Debussy. Mirip sekali de­ngan nama seorang komponis. Apa aku salah?”

“Banyak yang berkata begitu memang. Seakan-akan kami semua keturunan komponis Debussy”, katanya.

Kelincahannya yang semula dibuat-buat dengan canggung, kini berobah menjadi kelin­cahan yang sebenarnya.

“Mana sepedamu?” tanyaku.

“Sepeda?”

“Ya. Sepeda. Bukankah kau kemarin dan kemarin dulu naik sepeda lalu masuk toko Ce­remonia di avenue de l’Opera, he?”

Dia tercengang. Aku juga terheran-heran. Namun aku terus juga berjalan mendampingi­nya, dan menyeberang pada zebra-cross ke bou­levard seberang sana itu, lalu sekali-sekali mata­ku melirik lagi kepada Loraine, merasa seperti mengimpi. Fikirku, bukankah Loraine yang kemarin tiap sebentar menoleh dan kemarin dulu menyangka aku ini orang Aljazair adalah gadis yang disebelahku sekarang ini?

“Monsieur Ating”, kata Loraine kemudian, sehingga aku menoleh.

“Ya?”

“Kenapa anda bendiri saja di pojokan ave­nue itu selama sebulan ini?” tanyanya.

“Sebulan?” tanyaku kaget.

“Ya? Anda telah kutandai selama sebulan berdiri di pojokan avenue de l’opera. Pada jam yang sama seperti tadi, pada sore hari, seperti ada yang engkau tunggu”, katanya.

“Dan kau?” tanyaku menyelidik, “Dimana kau memperhatikan hal itu?”

“Hanya beberapa langkah saja dibelakang tuan” kata Loraine.

“Beberapa langkah dibelakangku? Ha? Se­bulan lamanya kau melihatku berdiri di situ tiap sore?”

“Ya. Sebulan lamanya, seperti ada yang anda tunggu. Siapa yang anda tunggu?” tanya­nya sungguh-sungguh.

Aku masih merasa seperti mengimpi. Bu­kankah aku baru tiga hari berdiri di pojokan itu, dan bukan sebulan? Menurut pengakuan­nya tadi, sudah jelas bagiku sekarang gadis ini bukanlah yang naik bersepeda dan menyangka aku ini pemuda Aljazair. Tetapi memang betul juga, dalam berdiri dipojokan itu aku tidak memperhatikan siapa yang di belakangku, ter­masuk gadis ini, yang katanya beberapa langkah berdiri dibelakangku.

“Sebenarnya, sebelum di avenue de l’opera tadi, kita sudah pernah bertemu”, kata Loraine.

“Kapan?” tanyaku ingin tahu lagi.

Episode 10
Perempuan Paris


“Yang terakhir enam bulan yang lalu”, katanya.

“Dimana?” tanyaku.

“Di cafe seniman-seniman di Les Deux Magots. Ingat, monsieur? Ketika itu tengah malam, anda bersama gadis Paris berambut blonde itu, yang bernama Nina Papandreou?”

“Benar. Benar. Nina Papandreou. Aku me­mang ada bersama Nina Papandreou enam bulan yang lalu di cafe Les Deux Magots pada malam hari. Coba anda teruskan, miss Loraine”, kataku.

“Gadis itu menjadi pujaan setiap penyair muda di kota Paris ini sekarang”, kata Loraine.

“Kenapa begitu? Apakah dia sekarang ini sudah menjadi aktris film? Atau primadona teater seperti yang pernah diangan-angankan­nya kepadaku?”

Loraine Debussy tersenyum saja tak men­jawab.

Akupun tak ingin terlalu banyak mendesak kepadanya, karena sudah kapok terlalu banyak ingin tahu, akhirnya membosankan diri sendiri. Apalagi jika aku mengingat kembali, bahwa aku harus, harus, harus melupakan Nina Papan­dreou.

Ternyata jalan kaki bersama gadis Paris yang satu ini tak membosankan, sekalipun dari Avenue de l’Opera ini telah kami lewati Boulevard Haussmann Faubourg-Saint-Honore, masuk ke avenue Franklin Roosevelt.

Akhirnya, aku dan Loraine Debussy sudah terdampar di l’avenue des Champs-Elysees.

“Bagaimana kalau kita minum-minum dulu di restourant itu?” tanyaku kepada Lo­raine.

“Kau punya cukup uang?” tanya Loraine. Aku jadi tersinggung, lalu segera menja­wab: “Kau boleh memesan apa saja”. Dan aku ketawa kecut.

Disini ada sebuah restaurant, Restaurant Brasserie di tepi trotoir. Bedanya dengan cafe Deux Magots karena dari restaurant ini kita bisa memandang panorama kota seluas mungkin. Dan meja serta korsi restaurant ini pun artistik sekali. Mejanya bundar-bundar, dan kalau ma­kan dan minum berdua, dua buah meja dirapat­kan. Tiap orang yang makan minum disini selalu menghadap jalanan. tidak ada yang me­munggunginya.

Dan aku dan Loraine sekarang sudah duduk bersama menghadapi dua meja bundar, meng­hadapi dua meja bundar, menghadapi jalan besar dan pohon-pohon yang sedang bermusim semi di di sepanjang avenue des Champs-Elysees. Banyak sekali mobil=mobil sedan diparkir di sepanjang avenue ini. Orang-orang berlalu lalang menghabiskan jam-jam sore.

 “Nah”, kataku mulai lagi, “Coba kau te­rangkan tentang Nina Papandreou. Melihat ge­lagatmu, kau tentu kenal dengan dia”.

“Dia pujaan setiap penyair. Dia jadi gadis model para pelukis muda langganan cafe itu. Tentu tuan tahu apa pekerjaan dia yang sebe­narnya”, kata Loraine meneguk minuman.

“Apa —”, kataku dengan darah berdenyut, “Apa dia seorang pelacur barangkali?”.

“Benar. Nina Papandreou seorang pelacur terhormat”, kata Loraine. Wajahku berobah jadi pucat-pasi mendengarnya. Kupandang lagi Loraine.

Serwaktu memandangi Loraine itu, hatiku gemetar. Tetapi Loraine Debussy kelihatannya tenang-tenang saja sambil seteguk demi seteguk terus minum melihat hari mulai malam meng­gelapi avenue dan orang-orang berlalu-lalang masih tak jemu-jemunya lewat didepan kami. Namun aku masih ingin tahu banyak tentang Nina Papandreou seperti yang Loraine cerita­kan.

“Apa memang benar, Nina Papandreou pelacur terhormat?”, tanyaku.

“Tidak banyak yang tahu tentang itu. Ha­nya tenman-temanku pclukis, penyair. pengarang nouvelle dan permahat patung menceritakan Nina seperti menceritakan seorang ratu”, kata Loraine.

“Mengapa mereka memuja Nina setinggi itu?”

“Dari Nina mereka seakan-akan menemu­kan hidup dan ilham”, kata Loraine.

Loraine menoleh kepadaku yang masih ter­cengang.

“Pablo Picasso akan ketinggalan jaman apabila seorang mendengar Nina bercerita”, kata Loraine.

Aku mulai bimbang, apakah Nina Papan­dreou yang diceritakan Loraine Debussy ini ada­kah Nina Papandreou yang pernah hinggap dalam hidupku beberapa hari, enam bulan yang silam itu!

“Kukira engkau salah lihat, Loraine! Nina Papandreou temanku itu barangkali bukanlah seperti yang kau sebut tadi, apalagi pujaan para penyair!”

“Ah, kau tak percaya, Monsieur Ating!”, mengeluh Loraine, “Pernahkah tuan melihat majalah seni yang memuat sajak yang berjudul NINA PAPANDREOU, KESAYANGAN KRISTUS — pernah?”

“Tidak”, kataku.

“Rugi anda tidak membacanya!” seru Lo­raine, “Seseorang yang pernah bergaul dekat dengan Nina tak membaca sajak yang meng­gemparkan kota Paris itu?”

“Memang rugi”, kataku membenarkan

“Sungguh Nina gadis Paris yang ajaib. Pe­nyair Baudelaire pernah bersajak begini: Le vieux Paris n’est plus, La forme d’une ville change plus vite, helas! que le coeur d’un mortel— anda membaca Baudelaire, monsieur Ating?”

Episode 11
Perempuan Paris


“Pernah”, kataku, “Justru karena karya-karya Baudelaire dan Honore de Balzac saya pergi dari Nederland ke Paris ini. Saya pernah membaca cerita pendek Baudelaire tentang Pe­lawak Tua, Mainan Kanak-kanak dan………………apa lagi?” tanyaku menguji Loraine.

Loraine menyahut: “Cerita pendek La Cor­de!”

“Benar. Kupuji kau begitu hafal dengan karya-karya besar seniman negerimu. Di negeri­ku jarang sekali ada gadis sebesarmu ini yang tahu karya-karya besar seniman mereka”, kata­ku.

“Dimana negerimu, monsiuer Ating?” ta­nya Loraine.

“Indonesia”, kataku.

“Ou, Indonesia! Kukira anda seorang Cam­bodge!”, kata Loraine.

“Memang ada juga nenek moyang kami berasal dan Kamboja. Dan orang Perancis tentu saja ingat kepada Kamboja, Vietnam, daripada Indonesia. Kaki serdadu Perancis tak pernah menginjak Indonesia”, kataku.

“Memang peperangan dan penjajahan ha­rus diakhiri”, kata Loraine.

Aku selalu heran selama dua tahun di Pa­ris ini. Di negeriku orang masih berbicara tentang seliter beras, pakaian pembagian dan kan­tor, uang masuk universitas, tanpa habis-habis­nya, tetapi di Paris ini kaum intelektuil pada umumnya berbicara tentang kemungkinan me­nyetop peperangan, mengakhiri penjajahan, juga tanpa habis-habisnya. Dalam bus kota mereka berbicara itu, di resturant universitaire orang berbicara itu, di Sorbone University juga orang berbicara itu, juga diteater, dan bahkan sewaktu aku duduk-duduk di ruang tamu kantor redaksi majalah Paris Matdh, di sinipun orang­orang berbicara tentang hal itu.

“Dimana kau sekolah, Loraine?”, tanyaku. “Aku kuliah di Universite de Paris, di Fa­culte de Medicine. Kenapa anda bertanya tentang  sekolahku?” tanya Loraine heran.

‘Engkau mahasiswi fakultas kedokteran yang tahu segala soal”, kataku sekedar untuk membuat senang, sekalipun memang aku kagum padanya yang terlalu banyak tahu tentang segala hal.

“Jadi apa yang kau tunggu selama ini di­pojokan avenue de l’opera itu, Loraine?” tanya­ku..

“Yang kutunggu adalah suatu keajaiban”, kata Loraine.

“Keajaiban?” tanyaku heran, “Keajaiban yang bagaimana?”

“Keajaiban mengenai sesuatu yang hilang, yang tak mungkin kita dapatkan lagi, namun masih kutunggu sepenuh harapan”, kata Lo­raine.

Aku tak mengerti.

“Seseorang?” tanyaku gementar. “Ya”, kata Loraine.

“Seorang lelaki atau wanita?” tanyaku le­bih gemetar.

“Seorang lelaki”, kata Loraine. “Oh”, keluhku hambar. Loraine memandang kepadaku dengan se­nyumnya yang penuh kekanak-kanakan. Mata­nya yang biru itu seperti digenangi airmata yang takkan kunjung jatuh dari pematang-pelupuk matanya, dan, gadis Paris ini mengeluh:

“Buat apa juga kuharapkan Ron Saragat kembali kepadaku”.

“Ron Saragat lelaki yang kau cintai itu?” tanyaku.

“Ya. Kucintai sepenuhnya”. kata Loraine.

 “Apakah kekasihmu itu telah pergi dengan gadis lain” tanyaku.

“Bukan”, katanya. Nafasku menyentak kembali mendengar kebukanan ini.

“Musim semi selalu indah buatku”, kata Loraine tiba-tiba.

‘Kenapa?” tanyaku.

“Karena musim semi macam begini dua tahun yang lalu aku dan Ron Saragat berjumpa pertama kali sebelum aku kuliah di Faculte de Medicine. Ron adalah seorang penyair. Sebulan yang lalu ia datang kepadaku, dan berkata : Loraine, cinta kita putus hingga disini. Aku telah memikirkannya seribu kali, kemudian baru pasti, bahwa antara kita tidak ada cinta. Yang kita punyai hanyalah satu sama lain saling mau mengisi sepi, setelah itu kita tak membutuhkan lagi, dan kita sepi lagi, mencari teman lagi, kemudian bosan lagi. Dan seterusnya. Cinta itu absurd untuk dita’ati, demikian kata Ron Sara­gat kepadaku, monsieur Ating. Lama-lama ku­fikir benar. Dan kufikir anda berdiri di avenue juga menunggu seseorang untuk mengisi kesepi­an anda”, kata Loraine, dan: “Bukannya be­gitu?”. Pertanyaan itu seperti mengandung ke­benaran. Aku tersenyum mendengar pertanyaan Loraine, bahwa memang benar aku berdiri di avenue de I’opera itu menunggu perempuan ber­sepeda selama tiga sore, yang pada malam ini jelaslah buatku soalnya. Soalnya memang aku kepingin mengisi sepi di hati ini dengan berkenal­an dengan perempuan itu. Tetapi fikiranku yang sudah terlanjur kejeblos dengan penuh simpati tentu saja kecewa: Loraine mengharapkan Ron Saragat datang kembali kepadanya, dan dilihat­nya ada aku yang sudah sebu1an berdiri tiap sore di situ, dan dipanggilnya aku, lalu kami berke­nalan, lalu kami sama-sama  duduk di Restaurant Brasserieini. Bukankah Loraine hanya memper­alat diriku belaka untuk kebutuhan mengisi sepinya?.

Kini kualihkan pertanyaan kepada Loraine:

“Sejak kapan Nina Papandreou itu menjadi pelacur?”

Episode 12
Perempuan Paris


“Kukira semenjak dia masih remaja”, kata Loraine, yang membikin aku mendengus kaget.

“Zaman begini sudah jamak, monsieur. Nina Papandreou berkuliah, untuk mengisi pe­ngetahuannya, agar dia bisa bergaul dengan orang-orang elite. Tetapi Nina Papandreou ma­nusia ajaib. Dia melacur, kuliah, dan menemu­kan dirinya sebagai dewi fortuna di tengah-te­ngah seniman besar yang memujanya ibarat ratu”, kata Loraine.

Loraine tersenyum hambar.

“Anda sudah membaca suratkabar pagi ini?” tanya Loraine.

“Belum”, kataku, “Aku sejak pagi-pagi telah berjalan-jalan berkeliling kota menikmati pemandangan kota Paris, melihat-lihat L’arc de Triomphe de I’Etoile, La Tour Eiffel, La Cathe­drale Notre-Dame, L’ Hotel des Inyalides, Se­perti turist yang baru datang layaknya, dan ke­mudian berjumpa dengan kau di avenue de I’ Opera”,  kataku ketawa pahit.

“Kalau begitu anda belum mendengar, bahwa pagi tadi Nina Papandreou tewas secara absurd!”

“Dia tewas?” tanyaku sambil mau berdiri dari kursi.

“Ya. Kemarin orang-orang berbicara di cafe Les Deux Magots, bahwa Nina Papandreou diberi hadiah oleh seorang pengarang nouvelle, sebuah mobil balap Matra Sports, dan mobil balap itu kata orang dijalankannya terlalu ken­cang ke Fontainebleau. Tahu kau dimana Fon­tainebleau?”

“Tahu”, jawabku, “Sekira tigapuluh mil dari sini’’.

“Ya. Tigapuluh mil dari sini Nina Papan­dreou menemui ajalnya, menubruk sebuah pohon, sewaktu dia akan melihat sebuah rumah yang dihadiahkan pengarang itu untuknya di­sana. Mati secara absurd, seperti matinya penga­rang Albert Camus, bukan?”, tanya Loraine. Kepalaku puyeng. Terbayang olehku saat-­saat yang mesra dengan Nina Papandreou serta akhir yang pahit yang telah kuperbuat, karena aku menolak kawin dengan dia. Kukatakan ke­pada Loraine:

“Mari kita jalan-jalan ke lain tempat. Atau kau ada keperluan lain untuk pulang?” tanya­ku.

“Aku membutuhkan teman saat ini, mon­sieur Ating”, kata Loraine. “Kalau anda tak keberatan temanilah aku pada saat-saat begini”.

Kami meninggalkan Restaurant Brasserie. Aku tak tahu lagi kemana kaki ini akan kulangkahkan setelah mendengar berita sedih ini.

Sambil melangkah terus pada malam musim semi yang berudara sejuk itu, dengan Loraine melangkah pula di sebelahku, aku hampir belum yakin, bahwa kematian Nina Papandreou begitu tragis. Kota Paris pernah heboh di bulan Juli sewaktu aku datang ke kota ini karena kematian bintang film Marilyn Monroe yang meminum obat tidur. Memang Nina papandreou bukanlah apa-apa untuk dibandingkan dengan miss Mon­roe, tetapi perasaan terkejut kota Paris adalah sama. Bagi pengunjung menara Eiffel selalu diawasi setiap detik, kalau-kalau ada yang bu­nuh diri. Terutama bila telah diumumkan hasil ujian akhir sekolah-sekolah menengah, menara Eiffel mendapat penjagaan polisi yang lebih kuat, seperti juga dipantai-pantai dan jembatan­-jembatan.

Aku pun tetap beranggapan, bahwa Nina Papandreou matinya bunuh diri. Karena itu, waktu kami duduk-duduk di tepi kolam Le Centre Jean-Saraih pada akhirnya, akupun bertanya kepada gadis Paris ini yang sedang me­rendam-rendam kakinya pada kolam: “Loraine, menurut hematmu, Nina Papandreou mati bu­nuh diri dengan sengaja menubruk pohon?”

“Kukira begitu”, kata Loraine.

“Apa sebabnya?”

“Kata teman-teman yang tadi siang mema­kamkan dia, Nina Papandreou mati akibat sen­sasi si pengarang nouvelle. Pengarang nouvelle itu berkata kepada Nina Setelah kau dapat uang, rumah, mobil balap, apakah yang akan kau kejar lagi selain kematian? Nina Papan­dreou sedih sekali dengan senda gurau itu. Dia kepingin dikurung di rumah yang dihadiahkan itu, dikurung oleh kekecewaannya, karena pe­ngarang nouvelle itu tidak mau mengawininya”.

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena penyair-penyair menyatakan tidak setuju. Jika Nina Papandreou kawin dengan sa­lah seorang dari mereka itu berarti turunnya Nina Papandreou dari takhta pujaan. Nina Pa­pandreou akan abadi jika tak kawin dengan siapapun. Orang yang dipuja akan abadi jika tidak kawin-kawin, karena orang yang dipuja milik semua pemujanya”, kata Loraine menge­luh, “Begitulah senda gurau para penyair itu”.

Mataku menatap patung dua ekor kuda yang seakan-akan meringkik yang berdiri di te­ngah kolam bunder Jean-Saraih itu. Kalau ke­nyataan benar, bunuh diri memanglah sebuah masalah pada abad ini, akibat peperangan, di­mana ummat manusia kehilangan wataknya, seperti Nina Papandreou pernah menyatakan padaku di suatu malam. Manusia membutuhkan teman dalam kesepian, itu benar, seperti kekasih gadis yang kini bersama denganku pernah me­nyatakannya. Dan sewaktu Loraine berkata kepadaku untuk ditemani malam ini, akupun merasakan, bahwa Loraine pun pada saat-saat dan detik-detik begini diburu oleh ketakutan akan bunuh diri setelah kabar sedih pagi tadi yang dibacanya. Dan aku sendiri pun pernah memikirkan juga jauh sebelumnya, sewaktu aku semakin merasa diamuk sepi enam bulan bela­kangan ini.

Tiba-tiba Loraine bertanya: “Apakah kau di Indonesia telah punya isteri atau kekasih, monsieur Ating?”

Pertanyaan itu sungguh-sungguh mengejut­kan dan menyesakkan nafasku.

Sungguh sulit bagi seorang lelaki — apalagi lelaki sepertiku ini — bila ditanya apakah sudah punya isteri atau kekasih. Pertanyaan gadis Paris ini bukan hal yang aneh bagiku lagi. Ka­rena sewaktu di Nederland aku sendiri pun per­nah juga ditanyakan begitu oleh gadis seaka­demi, atau, aku sendiripun pernah bertanya pa­da teman seakademi apakah dia sudah punya pacar atau calon suami.

Namun tiap seseorang menanyakan hal itu kepadaku, sungguh aku tak senang untuk men­jawabnya. Dan gadis Paris inipun rupanya me­ngerti bahwa aku tak menyukai pertanyaannya, sehingga Loraine tersenyum dengan senyum yang dibuat-buat. Loraine segera mengenakan sepatunya dan berdiri.

Kami tinggalkan kolam taman Jean-Sar­railh.

Setapak demi setapak kami berjalan tanpa berkata-kata. Kemudian naik bus. Kemudjan, jalan lagi. Aku ‘juga heran, mengapa akupun enggan untuk berkata-kata lagi. Dan akupun heran mengapa Loraine Debussy juga membisu saja.

Episode 13
Perempuan Paris


Kebisuan Loraine membikin hatiku dihim­pit sepi. Baru setibanya kami di sebuah jembatan antik, yang digemerlapi oleh lampu-lampu kuno, dan diantara dua terowongan berdiri tugu kecil dengan patung kuda-terbang, aku merasa ada alasan untuk bertanya “Patung siapa itu?”

Loraine menjawab “Patung Alexandre III”.

“Oh”, sahutku puas, “Jadi yang duduk memegang pedang dibawah kuda terbang itulah Alexandre III itu”.

“Ya”, sahutnya.

“Kalau begitu kita naik tangga itu, lalu jalan di jembatan itu nanti, melihat kapal-kapal mengapung di sungai Seine”, kataku.

“Boleh”, sahut Loraine dengan pendek. Kami menunggu dahulu mobil-mobil me­nyepi yang melintasi dua terowongan itu. Baru kemudian kami nyeberang, dan kupegangi tela­pak tangan Loraine sewaktu kaki kami melang­kah-langkahi tangga-tangga. Telapak tanganku yang memegangi telapak tangannya belum juga kulepaskan sewaktu kami berjalan bersama­-sama menepi jembatan kuno ini. Trotoir jem­batan ini lebar sekali. Telapak tangan Loraine masih dalam telapak tanganku. Kami berhenti melangkah karena memergoki sepasang muda-­mudi sedang berciuman di bawah lampu. Untuk menutupi kekosongan, aku menunjuk ke kejauhan, bertanya:

“Itu apa Mmle%%%. Loraine?”

“Itu ‘kan menara Cathedrale Notre­Dame?”, katanya.

“Alangkah enaknya melihat pemandagan malam musim semi begini”.

“Indah sekali”, kata Loraine, “Seindah puisi”

Baru kutahu, Loraine akan bangun bila aku berkata-kata sepatah dua yang cukup sentimen­til. Padahal aku sudah lama bermusuhan dengan sentimentalitas palsu. Namun untuk kepentingan persahabatan dan kepentingan saling mengisi sepi, akupun berkata pada Loraine:

“Maukah kau mendengarkan sebuah sajak yang kudeklamasikan?” Disini dugaanku tepat sekali. Loraine mengusik kelepak jasku, dan mendesak:

“Bacakanlah sebuah sajak yang kau sukai. Aku suka sekali akan puisi”.

“Tetapi jangan kau tertawakan bahasa Pe­rancisku yang konyol”, kataku mengajuk.

Loraine tertawa. Matanya gemerlap. Sen­tuhan mengenai batu-hatinya. Telapak tangan­ku dua-duanya kudekapkan pada lehernya sam­bil memperbaiki mantel jaketnya. Kutarik nafas dalam-dalam seperti siap dengan gugup, dan dia tersenyum. Aku mulai berdeklamasi dalam bahasa Perancis:

“C’est la cite sur toutes couronnee, Fontaine et puits de science et de clergie, Dc tous les biens de ceste mortelle vie A — A A —”, dan akupun berlagak ingat-ingat lupa, sehingga dengan tersenyum mencubit pipiku kuat-kuat dia menolong kelupaan itu:

“A plus qu’autres cites n’ont.

ATuit etrangier l’aiment et ameront!”

Sambil saling meremas telapak tanganku berduaan melangkah terus pada trotoir jembatan  kuno ini, dan, di bawah kami sungai seine hanyut sendiri menuju muara.

Malam musim semi itu sangat berkesan bagiku. Dan aku tak tahu apakah Loraine tidak merasa lelah begitu banyak kali berjalan kaki sekalipun sekali-sekali diseling naik auto dan metro. Namun, sewaktu kutawarkan padanya agar dia sudi kuantarkan pulang rumahnya, dia tidak bersedia.

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena seperti kukatakan di dalam tadi, bahwa aku tak ingin kau mengetahui mana rumahku”, kata Loraine.

Alangkah gondoknya aku!

“Kapan kita bisa bertemu lagi?” tanyaku mendesak

Loraine tersenyum.

“Besok?” tanyaku lagi.

“Lebih baik seminggu lagi baru kita her­temu lagi”, katanya.

Betapa dongkolnya aku mendengarnya.

“Dimana?” desakku karena dia telah naik ke microbus

Episode 14
Perempuan Paris


“Di avenue des Champs-Elysees. Dibawah pohon”, katanya.

Dan microbus itu pun sudah berjalan pula! Padahal aku masih ingin bertanya dibawah po­hon yang mana. Gondok sekali aku kepada sopir bus itu. Gondok sekali ! Begitu banyak pohon-­pohon di avenue des Champs-Elisees, di bawah pohon yang manakah harus kucari dia. Aku berjalan beberapa langkah. Lututku mulai pegal. Heran, dengan Loraine tak terasa pegal. Me­mang lutut ini manja tanpa seorang gadis dise­belahnya! Kukeluarkan dompet. Kuperiksa ma­sih berapa uangku dalam dompet. Nyatanya masih bersisa F. 809,70. Kumasukkan semua uang itu kedalam dompet tetapi kemudian ku­keluarkan lagi F 5,80 untuk membeli dua bung­kus rokok Newport, karena aku pasti bahwa malam ini aku tak bisa tidur dan perlu ditemani oleh dua bungkus Newport.

Dan memang, malam itu aku tak bisa tidur, sekalipun sudah penuh asbak dengan 37 batang rokok. Aku masih saja teringat kepada Loraine, yang tak mau menyebutkan alamat rumahnya. Ketika tiba-tiba teringat olehku bahwa dia pernah mencintai seorang yang bernama Ron Sa­ragat, aku menggaruk-garuk kepala, sambil membayangkan apakah Ron Saragat itu jauh lebih ganteng daripadaku. Biarpun Loraine bilang, bahwa Ron Saragat. sudah menghabisi cintanya sebulan yang lalu, aku khawatir pe­muda ini muncul kembali mengisi sepinya hati Loraine.

Masih ada waktu seminggu untuk ber­temu dengan Loraine. Untuk mencam­pakkan angan-angan yang tidak-tidak, waktu seminggu ini harus kuisi dengan bekerja keras. Untuk ini kuperlukan sahabatku Henri, seorang yang sangat berjasa dalam menemu­kan nafkah untuk hidup di kota besar, yang merupakan tanah asing buatku. Henri memang orang baik. Anak Perancis yang usianya jauh lebih muda daripadaku ini mulai bersahabat semasa masih di Nederland. Henri ini pula yang menyeret diriku ini ke Paris. Mulanya aku ce­mas. Apalah artinya kepandaian dalam bidang grafika untuk kota besar Paris, fikirku semula.

Tapi Henri mendorongku untuk membuat sis­tim grafika bergaya batik dengan motif-motif Bali, Sulawesi, Sumatra dan Gamelan Jawa diatas kain. Henri kemudian yang melempar barang-barang yang buatku bukanlah bernilai seni ini tetapi hanya untuk kebutuhan hidup. Tetapi kami berdua sukses. Henri dapat bagian sepuluh persen dari pendapatanku. Dan sejak itu ia menganggap aku ini orang yang gampang kaya. Delapan bulan yang lalu malahan aku ma­sih punya sebuah mobil sport Peugeot tetapi kemudian kujual dalam keadaan baru lagi, ka­rena aku membutuhkan alat-alat yang lebih pro­duktif lagi. Memang apa perlunya aku membeli mobil sports Peugeot itu! Dinegeriku begitu banyak orang-orang berduit yang gandrung membeli mobil sedan. Padahal mobil sedan tidak produktif sedikitpun, hanya akan membikin ramai jalan-jalan raya belaka. Paris — dan ter­utama Henri sahabatku — banyak memberikan pelajaran kepadaku, sehingga aku mengakui kebenaran pendapatnya.

“Kita hidup di jaman modern, bung. Mobil apapun bisa engkau beli bila kau telah mampu mempunyai alat yang produktif”, nasehat Henri dahulu, yang ternyata ada benarnya.

Dari penjualan mobil itu aku bersama Henri berhasil membeli pelbagai alat untuk membuat barang-barang keramik. Ilham mem­buat barang keramik ini karena kejengkelanku ditolak melamar bekerja di surat kabar dan juga ditolak melamar bekerja di majalah Paris Match. Lowongan sudah terisi, sedangkan aku sudah muak membikin industri pekerjaan tangan be­rupa batik-batik kecil untuk souvenier. Dalam pusingnya kepala itulah, delapan bulan yang lalu aku dan Henri berjalan-jalan keluar kota Paris.

“Bawa aku ke kota yang segar, Henri”, kataku mengeluh, “Aku sudah bosan hidup ini hanya mengisi perut. Aku butuh rekreasi lain.”

“Mari kita ke pantai Sables d’Olonne. Kita bisa menghirup laut Atlantik, main-main di pan­tai. Siapa tahu ketemu perempuan, kita pancing di pinggir laut”, kata Henri.

“Bukan itu. Lagi pula sekarang ini masih musim rontok. Ada baiknya menyegarkan otak melihat kota-kota lama”, kataku.

“Fontainebleau tempatnya!”, kata Henri, “Kota itu kota bersejarah, hanya 30 mil dari paris ini”.

Pada hari itu juga, kami berdua naik diatas mobil sport Peugeotku yang baru menuju Fon­tainebleau. Sungguh, sebuah chateau yang me­ngagumkan ! Kota ini dibangun dulunya oleh King Francis Pertama di tengah hutan rimba. Sepuas hati, kami berdua melihat musium yang berisi barang-barang kuno dan lukisan-lukisan lama. Tetapi aku lebih tertarik kepada keramik berbentuk teko, cangkir dan hiasan dinding. Di­sini kami bertemu dengan perempuan-perempu­an cantik yang ramah. Tetapi fikiranku seko­nyong melayang untuk membikin keramik-­keramik wayang Jawa dan patung-patung Bali, Borobudur, Mendut, rumah Minangkabau, o, rasanya semua tercurah dari kepala. Seakan di kota Fontainebleau ini malaikat baik membi­sikkan ke telingaku. Dari kota inilah aku dengar dari seorang tua, bahwa di sebelah timur, hanya sekira sepuluh mil saja dari kota tua ini, ada sebuah kota bernama Montereau. Di kota itu ada fabrik gelas dan keramik. Aku dan Henri segera menekan gas Peugeot untuk segera sam­pai ke kota itu. Dan memang benar, kota kecil ini kemudian menampung semua ilham-ilham­ku. Dari kota kecil inilah mengalir hasil-hasil pekerjaanku. Aku dan Henri sibuk membikin cetakannya di Paris, dan di kota ini segala ce­takan-cetakan itu dituang menjadi barang ke­ramik. Hasil pekerjaanku kulihat bertebar di rue de la Paix, Rue Royale, Faubourg-Saint ­Honore, dipajang di etalage-etalage toko besar di kota Paris kami!

Selama enam bulan belakangan inilah segala kemampuanku jadi mundur, gara-gara kena hantam kata-kata pedas Nina Papandreou di ma­lam terakhir itu “Sekarang saat berpisah. Se­telah berpisah ini, kau dan aku akan sama ke­jeblos dalam jurang sepi yang lebih mengeri­kan”.

Tetapi kini itu sudah berlaku lagi. Jalan­-jalan bersama Loraine tadi malam, sekalipun baru tidur pada waktu subuh, membuatku ba­ngun pagi ini dengan perasaan segar. Rupanya dua kali telpon berbunyi selama aku tidur tiga jam setelah dinihari itu. Dan kini telpon di ka­marku berdering lagi. Udara lembab pagi-pagi pada musim semi begini, membikin kakiku malas untuk bangun. Dengan telapak kakiku dua-­duanya, kukepit telpon, dan kemudian baru aku menerima telpon itu dari tempat tidur.

“Aku telah menduga, kau itu Henri”, kata­ku.

“Memang. Kau terlalu kenal dengan suara­ku. Sejak kemarin pagi aku menelponmu. Ada kabar penting yang perlu kau dengar. Kau harus dengar ini empat mata”, kata Henri di telpon.

“Aku sudah tahu. Kau mau bicara empat mata supaya aku tidak jatuh pingsan mendengar kematian Nina Papandreou kemarin, bukan?”

“Helas%%%!”, Henri berseru ditelpon, “Rupa­nya kau sudah tahu”.

“Sekarang lupakan Nina Papandreou. Mungkin dia telah di sorga kini. Sebaiknya kita yang masih di neraka kota Paris ini perlu memi­kirkan yang lain. He, kau tahu, tadi malam aku berduaan dengan gadis yang bernama X ...”



Episode 15
Perempuan Paris


“Siapa gadis X itu? Sebutkan namanya, dan aku tahu kalibernya”, kata Henri.

“Tak usah banyak tanya”, kataku ketawa, “Kita dalam lima hari ini harus menyiapkan cetakan keramik baru. Kau telpon supaya Mon­tereau menyediakan sekarung uang buat kita. Datanglah ke tempatku, kemudian kita kerja keras lima hari lima malam, ngerti?”

“Tapi sebutkan o, mon pere, nama, gadis­mu itu”, kata Henri.

Aku tidak perduli selama lima hari itu sa­habatku Henri mendesak siapakah nama gadis­ku itu. Henri jengkel juga.

“Akan kubuat iklan di surat kabar Le Figaro atau kuperiksa setiap campus mahasiswi, se­kalipun di campus Le Source di Orleans letak­nya ! “, Henri mulai melawak lagi.

“Kenapa kali ini kau begitu antusias bertanya?” tanyaku ketawa.

“Aku khawatir yang engkau pacari malah kekasihku”, kata Henri.

“Gadis itu tidak kenal kau”, kataku.

“Sial”, gerutu Henri.

“Dia hanya suka puisi”, kataku.

“Sial lagi. Aku hanya suka komisi 10%. Bukan puisi”, kata Henri.

Pada pagi hari di hari kelima itu, aku dan Henri amat gembira sekali. Siang harinya, Henri melihat semuanya sudah beres, sudah dipak de­ngan baik.

“Sekarang apa lagi komentar d’Indone­sie?” tanya Henri membungkuk hormat dengan maksud masih melawak.

“Cari sebuah truck. Carter. Dan ingat sopirnya jangan sopir Itali”, kataku.

Henri sudah sejam lebih kutunggu, belum juga kembali. Ia suka mengobrol dan kalau ngo­brol lupa waktu. Terkadang dengan sopir juga suka mengobrol: Ia sebenarnya lebih tepat men­jadi orang Italia atau Amerika daripada orang Perancis.

Sejenak waktu aku menggerutu sendirian, telpon berdering. Kufikir Henri tentu berteng­kar lagi dengan para sopir soal beaya carter.

“Siapa itu”, jengkel aku menyahut.

Tetapi yang kudengar kemudian suara pe­rempuan. Aku tahu, ini tentu ulah lawakan Hen­ri lagi. Sering ia menelponku memakai suara perempuan, sekedar mengganggu.

“Siapa ini?” tanyaku lembut.

“Aku. Kau telah lupa suaraku. Cuma lima hari saja lupa?”

“O. Tentu kau ini, Loraine”, kataku. “Di­mana kau kini?”

“Pada saat ini aku berada di Vemon”, katanya.

“Vemon?”, tanyaku kaget. “Bukankah Vemon itu nama sebuah tempat dalam sebuah roman karangan Emile Zola?”

‘Ya”, menyahut Loraine, “Kau tak salah sebut. Kota ini tetap seperti zaman Emile Zola menulis romannya Therese Raquin”.

“O, baru kuingat sekarang, manisku!” kataku berteriak senang, “Kota Vemon terletak di tepi sungai Seine. Dalam karangan Zola dise­butkan Madame Raquin punya anak seorang lelaki yang bernama Camile, seorang pemuda penyakitan. LaIu Camile ini kawin dengan The­rese, bukan?”, aku memancing tanya.

“Betul”, sahut Loraine di telpon dalam suara pecah, “Dan Therese ini, setelah kawin dengan Camille, lalu pindah ke Passage Du Ponat-Neuf, bukan?”

“Ya”, sahutku, “Dan muncullah seorang lelaki yang bernama Laurent”.

“Laurent adalah pelukis”, menyahut lagi Loraine.

“Ia gagah, jantan, dan nakal”, kataku me­nambahi.

“Dan kemudian pelukis Laurent ini mencium Therese sewaktu dilukis di loteng toko”, kata Loraine ketawa mengikik.

Ternyata gadis yang menelponku ini nakal juga, fikirku sejenak membiarkan ketawa Lo­raine ditelpon itu habis. Kalau aku tahu dia genit dan gatal begini, sudah kucium dia sewak­tu di taman Jean-Saraih atau di jembatan Alexan­dre-III dulu malam! O, bodohnya aku.

Hallo! “, seru Loraine lagi memekaki te­lingaku.

“Ya?”

“Adakah anda ingat, monsieur Ating, bah­wa Therese dan Laurent itu menyeleweng?”, tanya Loraine, membikin aku geregetan.

“Sewaktu suaminya Camille ke kantor?” pancingku.

“Ya. Laurent membolos. Dan Laurent me­nemui Therese”, seru Loraine.

“Pelukis itu naik jendela menuju kamar Therese”, kataku.

“Mertuanya mengetuk pintu”, kata Lo­raine.

Episode 16
Perempuan Paris


“Dan pelukis jahanam itu melompat, sem­bunyi di bawah tempat tidur”, kataku menam­bahi.

“Memang Emile Zola pengarang yang na­turalistis. Masih ada lagi tambahannya”, kata Loraine.

“Apa?”, tanyaku ingin tahu.

“Rupanya ada yang menyaksikan kejadian itu. Yaitu kucing-turki. Ingat kau masih?” ta­nya Loraine lagi.

“Ingat”, kataku.

Kudengar dalam telpon itu Loraine ketawa terbahak. T.etapi apa yang disebutkan Loraine sebentar ini menghempaskan semangatku se­ketika. Teringat olehku cerita Nina Papandreou pada malam terakhir dulu itu. Nina bercerita, bahwa ia ibarat seekor kucing turki sewaktu me­nyaksikan dengan mata kepala sendiri bagai­mana ibunya bergumul dengan seorang lelaki yang tak dikenal, yang kemudian menjadi ayah tirinya!

“Kenapa kau diam? Kau bosan?”, tanya Loraine yang merenggutkan ingatanku lagi ter­hadap kenangan yang barusan melintas kepada Nina.

“Kau lagi apa di Vemon?” tanyaku.

“Menemani bibiku”, kata Loraine.

“Siapa nama bibimu?”, tanyaku.

“Bibiku bernama Myriam”.

“Cantik?” tanyaku.

Kudengar suara bisik-bisik Loraine dengan wanita lainnya ditelpon itu. Rupanya Loraine lupa menutup mic teleponnya.

“Bibi Myriam juga kesepian. Makanya aku menemaninya”, terdengar kemudian suara Lo­raine lagi.

“Bolehkah aku ke Vemon?” tanyaku me­ngusik.

“Ou, jangan, jangan, monsieur Ating”, segera Loraine menyahut.

“Ah, jangan kau menyebut monsieur lagi kepadaku. Sebut saja mon ami begitu?”, aku mulai menyerangnya dengan ajuk-ajukan.

“Gila kau, monsieur Ating. Bukankah kita bersahabat karena sama-sama kesepian? Keka­sihku tetap Ron Saragat, bukan?”, kata-kata Loraine ini membuat telingaku hangat pada waktu menempel di tilpon, dan menyesal aku menganjurkan yang tidak-tidak kepadanya. Untuk menutupi sesalku, akupun menguatkan daya suaraku ini kemudian!

“Ingat janji dua hari lagi di avenue des Champs-Elisees?”

“O, tentu ingat, mon petit. Aku menunggu­mu di bawah pohon”, kata Loraine lagi, lalu menutup telpon sebelum aku bicara lagi.

Alangkah pandainya Loraine menutup til­pon, tepat ketika aku sedang ketagihan mau bicara lagi. Lalu kutarok telpon, dan meman­dangi peti-peti yang mau dibawa ke Montereau sebentar lagi. Kucoba menerka, kapan kira-­kira gadis genit ini dilahirkan. Kuduga Loraine lahir baru pada tahun 1947. Dia memang masih gadis yang sedang marak remaja, dan kufikir, agak berbahaya juga mau mengisi kesepian de­ngan gadis-gadis yang sedang gatal-gatalnya begini, malah lebih berbahaya daripada ber­teman dengan seorang janda yang haus seperti kulakukan ketika di Nederland, yang, menemui kegagalan.

Ya, memang, fikirku, Loraine setidaknya lahir disekitar tahun 1947. Padahal, pada tahun itu, biarpun aku masih berumur 16 tahun, aku sedang memegang senjata, sebagai pejuang Tentara Pelajar dan melayani serangan musuh di Gundih, tak jauh dari Solo! Fikirku lagi, betapa besar perbedaan umurku dengan Lo­raine. Tetapi kali ini tekadku untuk menjerat gadis Paris yang satu ini sudah begitu kukuh, dan tiba-tiba, otakku sempat berkhayal untuk membeli sebuah mobil sport yang agak lumayan, agar aku bisa berhubungan dengan serious de­ngan Loraine.

Khayalku pada siang hari di kamar hotel­ku itu, pada akhirnya aku laksanakan juga pada esok sorenya Aku membeli sebuah sedan merk Simca. Dan aku membelinya kali ini tanpa sa­habatku, Henri. Karena aku cemas kalau-kalau Henri menghalangi lagi maksudku, sebab waktu hal itu aku kemukakan di Montereau, Henri sama sekali tidak setuju!

Dan, hari yang dijanjikan itu datanglah pada esoknya. Sore itu udara musim semi lebih lembab dari seminggu yang lalu. Pelan-pelan Simca kujalankan menuju avenue des Champ­ Elyseees. Untuk menggampangkan mata, aku memparkir mobilku dekat pohon-pohon yang berjajar tinggi-tinggi di avenue.

Aku masih duduk di belakang stir. Mataku mencari-cari Loraine. Tetapi tidak kulihat se­orang gadis pun berdiri di bawah setiap pohon yang satu demi satu kupandangi. Aku khawatir teenager Perancis ini membohongiku ! Lalu aku keluar dari mobil. Dengan jengkel kubenahi jasku sejenak, kemudian berjalan tersandung­-sandung di sela manusia-manusia pejalan sore di sekitar avenue, dengan mata liar mencari-cari dibawah pohon manakah Loraine berdiri.

Tiba-tiba kudengar: “Hei!”

Sebelum aku menoleh tapak-tapak sepatu berlari ke arahku mencapai anak telingaku, dan, memang Loraine berlari-lari ke arahku dengan mantel bulunya. Betapa mahalnya mantel bulu itu. Setidak-tidaknya seharga 1500 US dollar, fikirku. Tanpa kekayaan, tak mungkin gadis Paris mau memakai mantel yang hanya bisa ter­beli oleh bintang film semacam Brigitte Bardot atau Sophia Loren atau Elizabeth Taylor, fikirku.

“Maaf”, kata Loraine Debussy, “Aku tak menunggu anda di bawah pohon. Tetapi akulah yang menegur engkau lebih dulu bukan? Jadi kau jangan marah !”

‘Darimana kau melihatku?” tanyaku.

“Dari mobil”, katanya ketawa lirih, “Oya, terpaksa kubawa mobilku itu”, katanya kemu­dian sambil menunjuk sebuah Mercedes Benz 2300 berwarna hati-ayam. O, fikirku, memang benar juga dugaanku setelah melihat mantel bulu yang mahal itu ! Orang Perancis pada umumnya orang yang sederhana sekalipun ber­duit banyak. Dan mereka lebih suka membeli sedan semacam Citroen, Simca seperti kupunya, atau Panhard. Dan bila mereka punyai sedan bikinan Jerman, setidak-tidaknya keluarga Lo­raine adalah keluarga kaya, atau sisa kaum bangsawan Perancis yang bisa menyesuaikan diri dengan zaman. Dan percuma saja aku ber­lagak aristokrat jika aku hanya punya sedan Simca yang tak berarti itu dibanding dengan mobil yang ditunjuk Loraine tadi.
Episode 17
Perempuan Paris


Namun aku pun masih berbangga: “Liat, akupun membawa mobilku!”.

“Hei”, seru Loraine berlari-lari kearah Simca yang kuparkir ditepi, “Masih baru kira­nya !”.

“Masih baru”, kataku bangga.

“Kau beli sendiri?” tanya Loraine terlepas, tak percaya agaknya.

“Kubeli sendiri”, kataku.

“Kalau begitu kau ini anak bangsawan kaya juga! Di Bank mana engkau tanam modalmu, he?”

Aku senyum.

“Kenapa senyum? Kalau kau banyak uang, kau bikinlah Family Theatre. Aku kepingin se­kali membintangi sebuah cerita sandiwara”, kata Loraine.

“Modalku kutanam di bagasi Simca itu”, kataku ketawa, menghibur diri sendiri, menga­tasi perasaan rendah diri yang kubawa sejak sampai di tanah asing ini!

“Jadi bagaimana caranya kita jalan-jalan sore ini untuk sama mengisi sepi?” tanyaku kemudian.

“Gampang”, kata Loraine. “Kau tunggu saja dimobilku. Aku lebih suka dalam mobilmu, karena lebih sempit dan kecil. Udara pun lem­bab”, dan gadis itu melangkah tergesa-gesa ke seberang jalanan. Rupanya ia pergi ke sebuah restaurant dan meminjam telpon. Entah kepada siapa Loraine menelpon. Tak lama kemudian, dari balik kaca mobilku yang harganya tak mahal ini, aku melihat loraine menuju ke arahku.

Lalu kubuka pintu baginya, dan dia duduk di sebelahku.

“Bagaimana dengan Mercedes Benzmu?”, tanyaku.

“Ah itu perkara gampang. Sebentar lagi sopir pamanku akan mengambilnya. Kita terus saja berangkat sekarang. Sesukamu mencari tempat, asal tempat yang mesra untuk mengisi dua makhluk yang kesepian”, kata Loraine, yang membikin darah jantanku mengental se­telah mendengar kata-katanya yang begitu be­rani.

“Apakah sesuatu yang mesra itu bahagia?” tanyaku sewaktu akan memasuki daerah Mont­martre yang terkenal sebagai daerah seniman itu.

“Belum tentu. Tetapi bahagia itu ditemu­kan di atas panggung, ketika seseorang bersan­diwara. Bahagia akhirnya adalah pura-pura, seperti kita tertawa dalam telpon, berduaan di mobil begini. Tetapi beginipun lebih baik dari­pada membenci”, kata Loraine kemudian.

‘Apakah kau senang membenci kekasih­mu Ron Saragat?”, tanyaku.

“O, tentu tidak”, kata Loraine. “Cinta tak mengenal benci”. Aku menyesal telah ber­tanya begitu kepada gadis ini.

Aku terkadang membuat ucapan yang tidak-tidak kepada seorang gadis, yang pada akhir­nya merugikan diriku sendiri. Seperti terhadap Loraine, yang sudah terang-terangan menyata­kan kepadaku bahwa dia masih merasa kekasih Ron Saragat, mengapa harus pula kutanyakan kepadanya apakah dia sekarang telah benci ke­pada pemuda yang meninggalkannya. Akibat­nya, aku terdampar dalam perasaan sedih. Te­tapi kali ini aku seakan bangkit dan terjelapak begitu, lalu hatiku bangun dengan perkasa, dan berkata tegas kepada Loraine:

“Bagaimana kalau kita parkir mobil di ­pinggir?”

“Buat apa lagi?” tanya Loraine.

“Kuharap kau mau”, kataku.

“Untuk apa?”

“Aku ingin ke La place du Tertre”, kata­ku.

                       

Mataku menatapnya dengan tajam. Dia tersenyum lirih, katanya “Kau seperti marah setelah kubilang aku tidak benci kepada Ron Saragat”.

“Memang aku marah”, kataku kemudian mengerem, dan kemudian cepat mematikan mesin, dan membuka pintu, serta mempersilahkan Loraine keluar dengan tetap mempertahankan sifat gallantry seorang lelaki gentleman.

Kukepit lengan Loraine menuju ke La Place du Tertre yang berada di tengah-tengah Mont­martre. Disini banyak sekali restaurant yang me­makai tenda, mengingatkan kepada penjual­-penjual sate di Jalan Blora semasa aku belum meninggalkan tanah air, bersama-sama Sutijah, kalau kepingin makan sate tengah malam!

Disinipun banyak pemudik gelandangan dan pelukis-pelukis yang mencari model ketika orang sedang makan dan minum. Terutama wanita adalah inceran pelukis-pelukis kilat ini.

Ketika kugandeng Loraine mau mencari minuman di tenda-tenda itu, ada seorang men­cuil lenganku. Katanya, “Monsieur, bolehkah aku melukis kekasih tuan?”

Loraine ketawa: “Dimana engkau menge­tahui aku ini kekasih tuanmu ini, he pelukis ?”

“Dari cara seorang lelaki menggandeng, madamoseille”, sahut pelukis cepat kilat itu.
Episode 18
Perempuan Paris


“Cobalah kau berdiri untuk dilukisnya”, perintahku pada gadis Paris ini.

“Terlalu pegal berdiri dilukis. Malam dulu jalan kaki terlalu capek sekali, Ating”, katanya merengek manja.

“Mari sini bung pelukis”, kataku mengajak pelukis itu. “Bung boleh melukis kekasih saya ini nanti sewaktu kami minum-minum. Bung sedia ?”

Pelukis cepat itu gembira sekali. Aku he­ran, watak yang bagaimanakah yang dipunyai oleh Loraine Debussy ini ! Kebanyakan orang tak sampai hati menolak ajakan para pelukis cepat di daerah La Place du Tertre ini! Dan yang lebih mengherankan lagi, Loraine seperti ber­wajah cemberut saja sewaktu dilukis itu. Sketsa itu dalam lima menit telah selesai. Dan aku menghargai pelukis cepat itu sekalipun dengan 25 francs saja, karena sketsa Loraine begitu mirip sekali.

Entah dibikin-bikin, entah tidak, kulihat Loraine angkuh sekali sikapnya pada senja ini. Skets pelukis cepat itu dikembalikannya ke­padaku sambil berkata:

“Aku lebih suka kepada Fernand Leger, pelukis modern daripada pelukis picisan begini”.

“Kau hanya seorang snobist”, kataku se­ngaja menyinggung perasaannya ketika itu juga, “Kalau seorang pelukis sedang harum, banyak dibikin resensi dan dibicarakan dimana-mana, kau anggap baik”.

Loraine terdiam beku oleh kata-kataku. Aku berusaha untuk tidak merasa menyesali kata-kataku itu. Kulihat wajah Loraine berobah seketika. Memang teenager ini perlu diajar.

“Orang berbicara dan mengagumi Beck-mann, Emil Nolde, kau ikut memuja”, kataku lagi. Teenager ini perlu dijewer, fikirku lagi.

 “Bagimu kesenian untuk makan melulu”, kata Loraine.

Kali ini gadis Paris ini telah membalasku dengan tepat. Aku terdiam. Aku hanya dipesona oleh perjuangan mati-matian sang pelukis cepat tadi, perjuangan untuk sesuap nasi, dan itu adalah lebih hebat dari kesenian itu sendiri.

“Kau benar”, kataku kemudian.

Mobil Simca yang kusetir, kuhentikan di tepi sungai tak jauh dari gereja Cathedrale Notre­Dame. Di malam musim semi itu, katedral ini bermandikan sinar cahaya.

Kami masih dalam mobil. Tiada satupun diantara kami bersuara.

“Mari kita ke restaurant untuk dinner”, kataku.

“Baiklah”, katanya.

Mobil kubawa ke Latin Quarter. Kupesan goreng merpati. Loraine suka pada minuman cin-Zano.

“Kukira ada yang kurang mesra pada ma­lam ini’, kataku.

“Memang”, kata Loraine.

“Aku dengan sengaja mau melukai hati­mu”, kataku.

“Aku pun demikian. Aku berusaha supaya kau benci kepadaku”, katanya.

“Berapa umurmu ?” tanyaku.

“Tujuhbelas lebih sedikit. Aku lahir tepat pada hari Natal”, katanya.

“Aku lebih tua sebanyak umurmu. Dua­kali lipat umurmu”, kataku.

“Sebenarnya kau ini ramah sekali”, kata Loraine.

“Kau lincah”, kataku. “Sebenarnya me­nyenangkan”.

“Ah. Malam ini aku memuakkan. Seder­hana sekali sebabnya”, katanya.

“Jangan kau merasa terganggu untuk me­nyatakan kehadiranmu. Kita orang-orang yang sama kesepian. Hati ini gampang tersinggung”, kataku.

“Aku takut jatuh cinta lagi”, katanya.

“Kita tak perlu bercinta. Itu lebih baik”, kataku, sekalipun hatiku tidak mau berkata demikian, sekedar melawan rasa rendah diriku.

Sehabis dinner, kubawa mobil ke tikungan sepi tak jauh dari stasion radio-TV film orkestra OR TF. Di tikungan itu mobil kuparkir. Kufikir ada bagusnya kucoba keberanian untuk memeluk Loraine. Jari-jariku menyelusup menggeletar seperti menggeletarnya mesin mobil yang belum kumatikan. Kuraih bahunya. Loraine diam de­ngan nafas sesak. Tetapi ketika Loraine akan kukecup, gadis ini menamparku dua kali!

Aku terperangah! Wajahku merah padam karena gagal untuk mencium bibirnya. Mobil belum kujalankan jua. Loraine menutup kedua telapak tangannya pada wajahnya sambil me­nangis terisak-isak. Dan untuk mengatasi ke­gugupanku, aku berkata:

“Sakit juga tamparan telapak tanganmu”.

“Maafkan”, kata Loraine.

“Tak apa”, kataku, “suatu pengalaman burukku selama di Paris. Aku ini sama saja dengan lelaki-lelaki yang berumur 33 tahun lainnya. Aku beranggapan, bahwa gadis-gadis teenager bisa dengan gampang untuk dicium karena usia mereka yang sedang mekar birahi. Nyatanya tidak”.

“Bukan begitu, mon Ating!”, seru Loraine dengan suara tersayat, “Aku bukan tak ingin dicium. Tetapi aku khawatir kalau-kalau cium­anmu membikin aku jatuh cinta”.

“Kenapa masih soal jatuh cinta yang kau katakan”, kataku mulai menggerakkan mobil­ku meneruskan perjalanan lambat-lambat. “Kau tau, manis, bahwa hidup itu bukan soal jatuh cinta saja”.

Hawa dingin dan angin musim semi yang berhembus begini, membuat aku menekan knop­-knop untuk menutupi kaca mobil. Kabut keli­hatan menyuramkan pemandangan. Kota Paris seakan sedang merangkul hawa sejuk dan lembab ini.

“Bagimu, monsieur Ating, mungkin — cinta hanya kebutuhan memenuhi nafsu. Ke­sepian juga hanya memenuhi kebutuhan nafsu”, kata Loraine lagi setelah lama membisu.

“Mungkin”, kataku, “Aku tak terlalu ba­nyak membikin pertimbangan dalam kehidupan ini.”

“Kalau sekiranya di Indonesia engkau ini telah kawin telah bertunangan, apakah mung­kin kau di Paris ini jatuh cinta lagi?”

Aku jadi tersenyum pahit mendengarnya. Namun kujawab saja: -”Kehidupan ini me­mungkinkn segala-galanya. Tiada satu dalil yang terlalu bisa dipegang teguh”.

“Pendirianmu sama dengan sikap bibi Myriam”, katanya.

“Mungkin karena usia bibimu sama tua denganku”, kataku.

“Ya. Bibi Myriam berumur tiga puluh ta­hun”, kata Loraine.

“Makin tua, manusia m?kin flexible meng­hadapi segala sesuatu. Tapi jangan katakan flexibility itu tidak memegang teguh suatu pen­dirian”.

“Katakanlah contohnya!” Loraine men­desak.

“Aku pernah diajak kawin dengan seorang janda kesepian di Nederland empat tahun yang silam. Aku indekost di rumahnya. Aku hanya bersedia untuk mengisi kebutuhan-ke­butuhan sepinya. Tapi sungguh, aku tak tertarik kepada janda Holland itu. Dan sewaktu pada suatu malam didekapnya aku sambil menangis:

“Kawini aku, kawini aku, aku butuh anak — akupun ngeri. Sengeri aku menghadapi Nina Papandreou enam bulan yang lalu”.

“Tentu ada sebabnya”, kata Loraine.



Episode 19
Perempuan Paris


“Memang ada sebabnya”, kataku.

“Apa?” desak Loraine ingin tahu.

“Kau tak boleh tahu. Kau masih terlalu muda untuk mengetahui”, kataku.

Ditepuknya lenganku sehingga kemudi yang kupegang sedikit merobah arah hampir me­nubruk tembok tepi sungai Seine.

Rupanya Loraine tersinggung sekali de­ngan ucapanku. Aku telah mengucapkan hal itu dengan sengaja, selain memang ada sesuatu yang benar yang empat tahun lamanya berke­camuk dalam jiwaku selama berada di luar­negeri.

“Aku telah dewasa”, kata Loraine.

“Kau belum lagi dewasa. Masih kanak­-kanak”, kataku.

Kurasa, aku berhasil. Berkali-kali diren­gutnya lenganku yang memegang stir, sehingga aku berkata:

“Jangan main-main madam oseille, nanti kita sama kecebur ke sungai Seine”, kataku.

“Biar! Hentikan! Hentikan!” seru Loraine.

Aku tidak mau menurut perintah gadis remaja ini. Tetapi tiba-tiba mobil mendenyut, sewaktu kakinya sendiri yang menekan rem. Kakinya masih menghimpit betisku. Telapak tanganku meraba dengkulnya yang berbulu pi­rang itu. Dan kuelus-elus dengkulnya. Loraine diam saja. Sekonyong kepalanya ditarok pada bahuku. Sewaktu aku menoleh kepadanya, bi­birnya yang kecil itu sedikit terbuka. Aku menunduk. Hanya sedikit kusentuh bibirnya itu dengan bibirku, tidak sampai kukecup. Lalu aku menghadap ke depan, melihat kabut lembab menggantung di depan sana. Rupanya dia gagal membina kemesraan. Diciuminya dadaku. Di­bukanya jasku dan diciuminya lagi dadaku. Dadaku yang berbulu bagai meremang tersen­tuh hidungnya yang mancung itu.

Kepalaku tunduk ketika itu. Bibirku me­ngecupi kuduknya, dan nafasku menerjang-nerjang anak-anak rambut kuduknya itu.

“Tu fais des betises”, kata Loraine me­nuduh aku tolol.

“.Segan aku mengecupmu. Aku juga khawa­tir bila bibirmu menyelip pada bibirku, nanti aku bisa jatuh cinta kepadamu, Loraine!”

“Tolol kau, karena tak mau memenuhi janda Belanda itu”, katanya.

“Mari kita meneruskan perjalanan”, ka­taku.

Kepalanya yang tersandar pada dadaku ke­mudian diangkatnya. Dia menenggangkan diri dan bersandar pada sandaran tempat duduk. Nafasnya dihelanya dalam-dalam.

“Jangan jalankan mobilmu, mon ami”, katanya.

Gadis Paris ini menjatuhkan kepalanya pada pangkuanku. Kurasa pada pusar-pusarku nafasnya yang tertahan-tahan.

Aku diam saja.

“Viens pres de mois! Je vais mourir ——”, katanya meminta agar aku menjamahnya, de­ngan pengakuan bahwa dia telah menyerah ke­padaku, merasa pingsan.

“J’ai soif, mon pere”, katanya melenguh, mengaku haus, entah haus akan apa, aku tak tahu.

Hanya untuk membikin bingung Loraine, aku mengangkat kepalanya dari pangkuanku, sambil berkata “Kukira kita cukup terisi sepi malam ini. Bagaimana jika kau kuantarkan pulang?”

Sebenarnya sebagai lelaki normal aku ingin lebih banyak lagi dari kemesraan yang kulawan dengan keangkuhan begini. Aku lelaki penden­dam, dan kini aku sedang membalaskan den­damku karena semula ditamparnya.

“Jangan”, kata Loraine, “Alamatku tak boleh kau ketahui. Antarkan saja aku ke perhen­tian autobus yang mau keluar kota”.

Sesungguhnya aku berat hati untuk berbuat sekejam ini! Aku mengetahui, Loraine Debussy gadis yang sedang marak-birahi. Dan sesung­guhnya, aku bisa berbuat sekehendak hati bila kurasakan denyut jantungnya saat itu. Ini bu­kan moral yang sejati. Bukan karena aku pe­ngecut untuk memikul tanggung jawab jika nan­tinya terjadi yang bukan-bukan. Tetapi keang­kuhankulah yang merajai hati ini.

Ketika kuantarkan dia sampai ke pinggir jalan tempat berhentinya bus-bus berligne keluar kota, sambil menutup kembalj pintu mobilku sewaktu Loraine telah keluar, Loraine menun­dukkan kepala dan kepala itu masuk jendela pintu mobilku, bertanya gadis itu:

“Kapan kita rendesvouz lagi”

“Sebaiknya seminggu lagi”, kataku. Lagi­-lagi keangkuhan memuakkan.

“Kenapa begitu lama?” tanya Loraine, “Atau sekedar untuk membalaskan dendam se­perti aku menunda pertemuan seminggu?”

 “Bukan”, kataku berdusta terhadap terka­annya, “Supaya sama-sama tambah rindu”.

“Baiklah”, katanya, “Dimana kau me­nungguku?”

“Sebaiknya kau yang menungguku”, kata­ku, “Dan tunggulah aku di rue du Faubourg St. Honore, di toko barang keramik paling su­dut”.

Dihelanya nafas panjang-panjang, kemu­dian mengeluarkan kepalanya kembali, lalu me­langkah memasuki orang-orang ramai yang se­dang menunggu bus juga.

Lambat-lambat Simca kujalankan. Lambat-­lambat sekali dengan perasaan yang bersemi yang mendekati perasaan dingin, keangkuhan lembab dan sifat pengecut yang tak berterus­ terang, semua yang buruk merajai hatiku, ku­akui sendiri dengan sejujurnya. Pasti Loraine menangis dalam bus menjelang dia sampai ke rumahnya. Dan pasti pula malam ini loraine tak dapat tidur nyenyak. Aku tak perduli. Ku­bawa mobilku untuk suatu niat aku kepingin bertanggang sampai jauh malam, kalau perlu sampai dini hari, di cafe Les Deux Magots, me­nontoni seniman dan seniwati Paris berdebat disini. Memang sudah lama juga aku tak kesini, semenjak malam terakhir bersama almarhum Nina Papandreou dulu, dulu.

Kuparkir mobilku di tepi.

Episode 20
Perempuan Paris


Aku mengambil tempat duduk di luar, pada kursi yang meluber di trotoir jalan itu. Lima orang seniman yang kukenal wajahnya tapi tak kukenal secara pribadi, lagi-lagi sedang minum­-minum tak jauh dari kursiku. Mereka, seperti juga pernah aku saksikan seniman Senen Jakarta berdebat, semua masih berbicara tentang Grand prix de Litterature, Grand prix du roman. Sam­pai dinihari aku mendengar pendapat-pendapat seniman muda ini tentang pengarang~pengarang besar Perancis seperti Anatole France, Mistral, Gide, Henri Bergson, Roger Martin du Gard, Mauriac, Camus, Perse, Sartre atau Sully-Pru­domme, Aragon sampai Gabriel Marcel dan puisi Valery.

Aku sendirian saja yang masih terbenam di kursi dengan sebotol minuman Cin Zano. Dan dalam cafe kedengaran musik klassik mengalun, kalau tak salah ciptaan Faure. Namun bukan tokoh-tokoh sastra yang membikin aku terbe­nam, bukan pula musik Faure yang kufikirkan saat itu. Heran, dalam alunan yang sympho­nique itu hatiku seakan berkecamuk oleh irama gamelan Bali, bagai sesosok makhluk hidup ber­kecamuk dalam diriku, dan hatiku menyenak­-nyenak, dan aku hela nafasku dalam-dalam, tahu bahwa aku sedang digerayangi oleh perasa­an rindu kepada Tanah air. ini kurasakan benar. Perasaan semacam ini pernah singgah di kepalaku sewaktu aku dan Nina Papandreou melihat anak kecil hampir ketubruk mobil sewaktu kami menyusuri sungai Seine keluar kota untuk naik perahu dulu itu. Terbayang olehku wajah kanak­-kanak yang tak berdosa, terbayang olehku kemiskinan, ketakutan pada hari esok, naiknya harga-harga, pegawai-pegawai yang membawa karung ke kantor dan di kantor membaca surat ­kabar, dan terbayang olehku pula jam dua belas para pegawai sudah mulai turun dari korsinya, lalu melihat apakah bus-bus jemputan untuk membawa mereka pulang telah datang. Sebuah teriakan bayi seakan-akan mengeak ditelingaku.

Kuhela nafas dalam-dalam.

Aku — fikirku — di negeri asing, tanpa me­mikirkan kesusahan ekonomi semuanya ini. Te­tapi selalu aku heran, setiap perasaan rindu un­tuk pulang ke tanah air, selalu disertai keta­kutan menghadapi kesulitan ekonomi, dirong­rong lagi oleh masalah dapur, beras, garam dan sambel, minyak tanah dan terasi. Aku tersentak. Udara lembab dingin serasa mau membikin hi­dungku pilek. Aku menoleh kembali kepada Se­niman seniwati Paris ini. Mereka masih ber­debat Camus, Marcel, Bergson, Mistral.

Kubayar minuman. Aku campakkan tubuhku pada akhirnya ke mobilku yang baru ini, dan aku segera kembali ke hotel. Di hotel ke­rinduanku untuk pulang ke tanah air belum juga habis-habisnya. Apalagi jika mendengar suara bayi menangis di kamar sebelah kamarku. Be­soknya, sewaktu Henri menelponku ingin ber­jumpa, aku telah menolaknya, dan aku masih terbenam dalam kamar melihat skets Loraine yang digantung di dinding, lukisan sesuap nasi oleh pelukis cepat di La Place du Tertre kemarin malam itu ! Aku berfikir, bahwa aku harus se­gera berjumpa dengan Loraine, apalagi kalau musim semi ini berakhir pula! Dan bukan itu saja Aku harus menjumpai Loraine untuk membunuh kerinduan pulang ke tanah air yang menguberku dari belakang ibarat bayangan han­tu.

Segera aku cuci muka. Kemudian berpakai­an rapi dan memasukkan beberapa koffer dalam tempat bagasi mobilku. Dan kemudian mobilku kularikan dengan kencang ke Faculte de Medi­cine. Lorain sedang kuliah. Kutunggu di taman fakultasnya. Aku merokok Newport lima ba­tang. Dan barulah kemudian aku jadi lega se­telah bisa jumpa dengan gadis Paris yang lincah ini. Betapa senangnya dia melihat aku datang. Aku dikenalnya sebagai seorang designer, peng­usaha keramik dan segala nama-nama jabatan palsu kepada teman-temannya. Kudengar jabatan ­palsu kepada teman-temannya. Kudengar kata-katanya yang sengaja dikeraskan.

“Memang mesra punya pacar pemuda dari asia.” Teman-temannya tertawa. Aku melincah­kan diriku dengan memotret gadis-gadis kulit putih itu.

“Kau masih kuliah terus?” tanyaku. “Maksudmu mengajak aku membolos?”

Loraine bertanya.”ya, ah itu beres. Tapi kemana kita?”, tanyan­ya.

“Ke Vemon”, kataku, “Mau kau menghabisi musim semi di Vemon ?”

“Bibi Myriam sudah di sini”, katanya. Wajahnya pucat terkejut.

“Pinjam saja kunci villa pada bibi Myriammu”, kataku.

Kota Vemon di tepi sungai Seine buatku adalah masa kini dan masa lalu. Kini aku datang ke kota ini seperti seorang penziarah, dan memanglah demikian perasaan­ku sewaktu mobil Simca kuhentikan sewaktu memasuki kota ini. Loraine, gadis Perancis di sebelahku tidak tahu, betapa terharunya aku melihat kota ini Meremang bulu-kudukku me­lihat toko-toko yang bersusun sepanjang jalan. Mataku seakan-akan mencari sebuah toko pa­kaian wanita di antara toko-toko itu. Toko pa­kaian wanita pada abad kesembilanbelas yang mungkin masih ada hingga sekarang. Aku me­rasa jadi seorang yang sentimentil memasuki kota ini. Toko pakaian wanita dikota Vemon ini pernah kubaca dalam sebuah buku, semasa aku masih bersekolah S.M.A., sebuah buku Emile Zola yang berjudul Therese Raquin. Ka­Iau tak salah, pada bahagian kedua buku itulah kutemui nama kota Vemon ini. Aku masih :ingat, kira-kira permulaan kalimat di chapter dua buku itu Madame Raquin dahulunya me­mimpin sebuah toko pakaian wanita di Vemon. Duapuluh lima tahun lamanya semasa hidup­nya pernah berdiam di sebuah toko di kota ini. Kalimat-kalimat Emile Zola dalam bukunya itu kini hidup kembali, dari kota Vemon ini kusaksikan, kusaksikan di abad keduapuluh, dari balik kaca mobil Simca. Dan mengapa pula mataku mencari toko Madame Raquin itu. Se­dangkan toko itu mungkin hanya dalam khayal­an pengarang Zola belaka?

“Kenapa mobil kau hentikan, mon Ating?” tanya Loraine.

Baru aku terbangun kembali pada kesa­daran, dan aku tersenyum kepada gadis di se­belahku ini, sambil berkata lembut: “Aku se­dang membayangkan karangan Zola”.

“Kau seorang pembaca yang fanatik”, kata Loraine.

“Tentu saja”, kataku sambil meneruskan menjalankan mobilku. “Aku membaca buku itu sewaktu masih remaja, sehabis perang kemerdekaan di negeriku, dan kini kota dalam buku itu aku ziarahi bersamamu”.

“Loraine”, kataku lagi, “Dimana kira-kira rumah bibimu Myriam?”

“Kita berbelok ke kiri”, kata Loraine, “Dan kemudian ada taman luas. Masukilah taman luas itu, yang pohon-pohonnya rimbun sekali”.

Memang stir kubelokkan ke kiri, kemudian memang tampak taburan pohon-pohon yang bertumbuh teratur di sebuah taman. Tak ada jalan lain lagi. Aku menoleh kepada Loraine:

“Mana?
Episode 21
Perempuan Paris


“Itu”, kata Loraine menunjuk kedepan, “Rumah kecil itu!”

Setelah kemudian mobilku berhenti di sam­ping rumah kecil itu, aku segera keluar.

Ketika kami berdua memasuki rumah kecil ini, keharuanku makin menjadi-jadi. Loraine membuka semua jendela! Aku juga menolong membuka sebuah jendela lainnya. Dan bila ku­buka jendela, nun di bawah itu sungai Seine ke­lihatan membentuk tebing-tebingnya di antara rerumputan. Aku berseru: “Loraine!”

“Ada apa? “’ Loraine mendatangiku.

Mulutku seperti tak bisa bergerak seperti kena pukau.

Aku gugup untuk berkata “He, rumah ini seperti ada dalam karangan Zola, yang di­sewa 400 francs oleh Madame Raquin. Perasaanku merasa demikian sewaktu membuka jendela tadi itu, langsung melihat sungai Seine mengalir tenang di bawah itu”.

“Kalau begitu aku ada akal”, kata Loraine langsung mengambil radio pickup dan menaruh sebuah piringan hitam. Tak lama kemudian, ruangan rumah sunyi ini membuatku berdiri bagai patung perunggu! O, symphoni itu, se­buah symphoni ciptaan Chopin, seakan-akan mengajak diriku kembali ke abad silam, dan sekonyong aku bungkam oleh ketenangan syah­du. Ya, musik telah membersihkan hati ini dari batas-batas tubuhku sebagai warga suatu bangsa yang bukan bangsa pencipta lagu itu.

Loraine memutar piringan-piringan hitam klassik sampai jauh malam, sedangkan aku bertiduran diatas permadani sambil meneguk minuman Cin-Zano pemanas tubuh.

“Apa kesanmu tentang negeri kami?” tiba-­tiba Loraine bertanya.

“Kesanku”, kataku jujur, “Kesanku negeri ini memelihara kebudayaannya dengan baik. Masa lampau negeri ini masih terpelihara”.

“Benar”, kata Loraine Debussy, “Orang Perancis merasa hina bila tidak bisa berbicara tentang musik, puisi, opera atau roman”.

“Aku jatuh cinta dengan negerimu”, kata­ku.

“Tetapi bagaimanapun cintamu dibawa oleh arus sungai Seine, tentu pada akhirnya kau rindu untuk pulang ke Indonesia”, kata Loraine.

Aku jadi terdiam setelah mendengar kata­-kata Loraine itu.

Ada setengah jam aku membisu, tetapi otakku seakan-akan susah merangkaki satu per­satu kenang-kenangan pada tanah air, pada ma­sa lampau, pada peperangan. Peperangan yang ditimbulkan karena bangsa yang satu mengkolo­ni bangsa yang lain telah menewaskan ayahku di waktu terjadi pertempuran November di Sura­baya pada tahun awal kemerdekaan negeriku. Kemudian sewaktu aku sedang bertempur di Sragen dan Gundih, aku mendapat kabar ibuku meninggal dalam perjalanan mengungsi antara Semarang dan Magelang. Kakakku yang perem­puan ditembak di Cepu, dan adikku yang perem­puan hilang begitu saja dibawa oleh pengungsi lain, entah masih hidup entah sudah mati dalam perjalanan mengungsi yang mengerikan itu. Dan pada waktu Belanda menyerahkan kedaulatan­nya kepada Republik kami, aku kehilangan se­mua-muanya rumah, ayah, ibu, kakak perem­puan, adik. Hanya sebuah pistol dan baju yang tak seragam yang kupunyai sebagai milik. Dan karena pistol itu tak lagi kuperlukan di masa damai sehabis perang kemerdekaan itu, orang­-orang sepasukanku menunjuki jalan, agar aku kembali ke bangku sekolah. Aku memilih kota Jokja karena di kota itu masih ada pamanku, dan akupun bersekolah lagi dari permulaan sampai kemudian aku duduki bangku SMA, itu pun dengan fasilitas karena aku tercatat se­bagai tentara pelajar. Kukira aku lulus pun ka­rena ujianku yang tersendiri. Otakku sendiri agak lemah, mungkin karena terlalu sering me­lihat darah, terlalu sering dikejutkan suara mor­tir dan dentuman howitzer dimasa gerilya itu, tetapi kukira tidak karena inilah otakku lemah. Otakku lemah mungkin karena penderitaan yang belum sanggup aku pikul, lebih dari memikul senapan mesin dan meriam-tomong. Yang ku­pikul dan memberatkanku saat itu adalah pera­saan sunyi karena kehilangan semua darah da­gingku yang kucintai, yang mati dan hilang tanpa kuketahui pula kuburannya.

“Kau ingat kampung halaman?”, tanya Loraine, membangunkan aku dari lamunan. Ka­rena aku malu kedapatan oleh Loraine sedang melamun, lalu kulepaskan senyum bekuku men­jadi senyum yang cair.

“Kau tidak mengantuk, Loraine?” tanya­ku.

 “Aku sedang membaca sebuah scenario”, kata Loraine.

“Hei, kau kepingin menjadi bintang film”, kataku.

“Siapa tahu nasib baik aku bisa bermain film kelak. Tetapi setidak-tidaknya harus di­mulai dari pentas teater”, kata Loraine.

“Seharusnya begitu”, kataku.

“Kau suka dengan drama karangan August Strindberg?”, tanyanya.

“Sedikit”, kataku sekedarnya.

“Henrik Ibsen?”

“Juga sedikit”, kataku.

“Jean Anouilh?”

“Juga sedikit”, kataku, “Tetapi aku lebih suka kepada puisi Perancis. Mungkin selera seniku buruk sekali”. Sebenarnya aku kepingin tidur. Aku takut diusik lagi oleh Loraine tentang tanah air, tentang kerinduanku kepada kampung halaman. Karena jika dia mulai bertanya be­gitu, aku lalu memikul suatu beban di kedua bahuku. Belakangan ini soalnya bukan lagi beban ketakutan untuk memikul soal-soal dapur dan beras dan sayur-mayur lagi, melainkan beban moril yang kutinggalkan di tanah air. Se­lama empat tahun, tanggung jawab moril inilah yang mengejar-ngejarku, seolah-olah aku ini manusia yang tak bertanggung jawab. Tetapi setiap beban moril itu mendatangiku, aku ke­pingin lari dari bayangan gelap itu, lari seperti seorang pengecut, rendah diri, atau seorang yang melakukan desersi kepada musuh, begitu­lah aku selalu merasa ngeri. Aku berangkat ke Nederland atas pertolongan komandanku dalam pertempuran dulu, seorang letnan yang melihat bakatku sebagai bawahannya yang bisa dikem­bangkan bakatku ini di bidang grafika. Dan aku merasa senang dengan tawaran itu, sebab se­bagai pegawai kantor demobilisan aku merasa gaji tak cukup sedangkan ongkos-ongkos hidup dan beaya ke dokter yang selalu naik, membikin aku menerima tawaran ke Negeri Belanda itu laksana mendapat lotre. Aku tak pandai berbahasa Belanda, sekalipun bahasa Inggerisku amat baik. Komandan pasukanku melihat dari segi yang lain. Katanya masa depan grafika Indo­nesia amat penting, dan aku dipaksanya mau menerima tawaran itu, katanya ia bisa menolong dengan seorang pejabat. Tetapi setelah dua ta­hun kuliah di Akademi Grafika di Nederland, surat-surat kabar luar negeri yang kubaca di sana itu mengerikanku bila mereka menyeret keadaan ekonomi negeriku. Aku merasa ngeri untuk pu­lang. Percuma sertifikat Akademi Grafika yang kupunyai bilapun aku pulang. Sebab dalam ke­adaan ekonomi pahit itu, penjual soto yang buta huruf akan lebih baik keadaan hidupnya dari­pada seorang yang cuma memegang sertifikat tamatan akademi grafika. Henri yang sama ku­liah denganku, menolong keadaanku waktu itu yang putus asa. Sahabatku yang lincah ini membuka jalan kepadaku untuk ke Paris!



Episode 22
Perempuan Paris


Apakah perlu jalan hidup yang pedih ini kuceritakan kepada orang lain, sekalipun Lo­raine? Kukira tidak perlu. Empat tahun di tanah asing buatku cukup memberi pelajaran berma­syarakat, bahwa pada akhirnya nasib seseorang berada dalam tangan orang itu sendiri. Jangan­kan di tanah asing ini, bahkan sewaktu masih di Jakarta saja aku sudah merasa hidup seperti pepatah Jakarta, “siapa lu siapa gua”, dan pernah di Jakarta aku melihat orang ditubruk trem ada yang berteriak latah, “Rasa in mampus lu!”. Tetapi ini suatu kenyataan dari kehidupan modern. Hidup modern menyuruh setiap indi­vidu haruslah menjadi subyek dari segala macam situasi. Mereka yang menjadi obyek dari situasi yang bagaimanapun akan bernasib malang, ber­kali-kali, mulai dari zaman penjajahan sampai kepada zaman merdeka dan pemilihan umum yang sudah lalu dan kemudian dicairkan lagi.

Waktu aku menoleh, kulihat Loraine sudah tidur dengan telentang, tanpa bantal, diatas permadani, dengan sebuah buku scenario menutupi mukanya.

Kulihat sendiri betapa enaknya tidurnya. Akupun duduk dengan menyandarkan ke­pala pada lengan kursi tua, kursi model abad kerajaan negeri ini ! Dan yang tidur itu, gadis modern dari negeri ini juga, gadis kota Paris yang haus akan segala-galanya, haus teman, haus ilmu, haus juga kepada kemasyhuran ka­rena dia kepingin menaiki tangga menuju bin­tang-bintang film!

Aku mengambil mantelku. Kukira udara se­juk yang berhembus melalui lubang-lubang angin akan membikin Loraine kedinginan dan dapat pilek nantinya. Lalu mantelku kuselimuti pada kaki Loraine.

Sungguh nyenyak sekali tidurnya! Dia tak merasa sekalipun mantel itu kulemparkan be­gitu saja, yang menghentak, yang seharusnya membikinnya terbangun Tapi tidak. Loraine tidur nyenyak.

Kini kucoba menyadari diriku. Haruskah aku selalu begini, bercermin pada diri sendiri, ibarat bunga narsiscus? Dan terpaksa aku tak ambil pusing. Kutemukan kelemahanku. Aku tak bisa menyegarkan angan-angan gadis ini yang kepingin termasyhur. Kukira aku belum perlu merasa cukup tua pada umur 33 tahun begini. Bahkan Sophia Loren, bintang Italia itu lebih suka kepada situa Carlo Ponti dari­pada bintang-bintang Italia dan Hollywood yang muda dan ganteng! Perasaan demikian ini, mem­bikin aku melupakan pertimbangan apapun. Dari Paris aku sengaja membawa Loraine untuk sesuatu yang romantis. Aku lelaki. Dia gadis. Aku dan Loraine ada dalam rumah kecil ter­pencil berdua saja, tanpa mau saling mengisi waktu dengan ngobrol, dan betapa salahnya aku aku biarkan Loraine jatuh tertidur dari tadi hanya karena membaca skenario.

Musik klasik dalam piringan hitam itu lama sudah berhenti. Musik hatiku mendenyutkan yang lain. Kulihat dia tidur demikian nyenyak. Aku merangkak mendekatinya. Dan buku yang menutupi wajahnya kuambil. Loraine diam saja, hanya menarik nafas. Tidur. Tapi terus juga dia kupandangi. Sejuknya wajah yang tertidur itu. Dia tak tahu aku memandanginya. Kepalaku tunduk. Wajahku bagai menutupi wajahnya. Pelan-pelan kuhirup bau keringatnya pada tepi lehernya. Dia tak bergerak. Aku bagai meng­hirup patung hidup. Loraine! betapa nyenyak tidurmu! Darahku berdebar, dan nafasku men­desak dan kuciumi telinganya, keningnya, dan sewaktu bibirnya kukecup perlahan aku merasa punggungku bagai dirangkul.

Pada pagi harinya, aku dan Loraine seperti kanak-kanak berkejar-kejaran di rumputan di ­belakang rumah. Terkadang aku dapat meme­gang lengan Loraine dan dia terpekik sambil ketawa. Kemudian aku menggendongnya.

“Hayooo, kuceburkan kau kedalam sungai Seine!” aku berseru.

“Hai-hai-hai”, Loraine ketawa.

Kulemparkan tubuh Loraine kedalam su­ngai, dan dia terpekik sambil ketawa. Aku me­lompat mencebur, dan mengejar Loraine yang berlagak hanyut dibawa arus sungai. Aku me­ngejarnya terus, menggelepak-lepakkan tapak tanganku sambil berenang itu. Loraine menakut-­nakuti seakan-akan dia tenggelam. “Tolong, tolong”, teriaknya dengan kepala timbul dan tenggelam di permukaan arus sungai. Dan bila kemudian aku menangkap lehernya, kupagut Loraine dalam air, dan kubiarkan seakan kami berdua hanyut oleh arus, dan Loraine ketawa-­tawa dalam pelukanku yang mengikuti arus Seine. Kemudian baru Lonaine kuseret ke tepi, kuseret dengan kaki menggelepar-gelepar dalam air dan lengan mengepit pinggangnya.

Di tepi sungai kami sama membantingkan tubuh kami masing-masing di atas rumput hijau. Kemudian kami bergelut bergumul-gumulan sampai nafas kami sesak oleh ketawa karena saling mencari tempat yang menggelikan kalau kena gelitik. Dan akhirnya kami lelah sendiri karena sesak nafas. Aku menelungkup. Loraine mencelentang di sebelahku, memandangi langit musim semi yang mulai cerah untuk menyong­song matahari musim panas yang tak lama lagi akan tiba. Nafas Loraine masih sesak. Tentu saja. Setelah bergelut mengikuti arus sungai, di rumputan ini pun masih gumul bergelut-gelut jua. Aku bertopang dagu sambil menelungkup itu. Mataku melirik. Dengan iseng jari-jariku mengambil helai demi helai tangkai rumputan yang menyela-nyela mengotori rambut Loraine. Loraine melirik dalam lirikan matanya yang biru sewaktu kucabuti rumputan di kepalanya.

“Mengapa kita sebentar tadi?” tanyanya tiba-tiba.

“Iseng mengisi sepi”, jawabku.

“Kenapa hanya iseng? Apakah kita tak be­rani hidup ini ditempuh dengan serious?” tanya­nya.

“Karena masing-masing kita takut, bahwa hidup serious justru menghalangi kita berpura­-pura. Lebih baik berpura begini”, kataku.

“Juga ketawa, berhanyut-hanyutan, ber­gumul, bercumbu pura-pura, seperti tadi dan tadi malam?” tanya Loraine.

“Karena bila ada ikatan, ikatan tentu selalu mengikat”.

“Memang benar”, katanya mengeluh, “Ikatan selalu membuat kita terikat satu sama lain. Tapi, apakah engkau telah punya tunangan atau isteri?”, tanya Loraine kemudian.

Kusentak telapak tangannya. Kucium pung­gung telapak tangannya.

“Kau selalu bertanya tentang hal itu. Se­dangkan kau dan aku belum ada ikatan, belum ada cinta, bukan?”

“Kalau begitu ma’afkan aku yang selalu menanyakan yang itu-itu juga. Apakah aku ini gadis yang membosankan?”, tanyanya.

“Tidak”, kataku.

Episode 23
Perempuan Paris


“Kekasihku Ron Saragat berkata, bahwa aku gadis yang membosankan”, kata Loraine.

Dan Loraine pun akhirnya mulai lagi ber­kisah tentang lelaki yang dikasihinya itu. Tiap dia bercerita tentang Ron Saragat, matanya kulihat bersinar-sinar. Dan pada saat-saat mata­nya bersinar dengan terkatup dan terbuka, aku sudah bisa membayangkan lelaki macam bagai­mana yang pernah menghinggapi hidup gadis berambut pirang ini. Dan pada saat itu, aku jijik mendengarnya. Dan timbul rendah diriku, bah­wa aku pemuda asing yang belum mengerti feno­menon bangsa Perancis.

Begitupun pada malam harinya. Loraine masih Cerita tentang Ron Saragat, penyair yang dikaguminya itu.

Aku mencari akal supaya gadis ini memu­tuskan hubungan dengan kenangannya yang menjijikkanku bila dia bercerita. Dan aku ber­teriak: “Mari kita hidup dengan culture abad kesembilan belas! Hopla !”

Kuambil piringan hitam musik klasik.

Sengaja kupilih nada waltz.

Loraine ketawa. Lalu dia masuk ke kamar­nya. Kuketuk pintu kamarnya. Tetapi pintu itu terkunci.

Lama aku menunggu di depan pintu kamar­nya. Dan aku pun menjadi bosan. Lalu berke­liling pada setiap gang sempit rumah kecil ini dan memeriksa lukisan-lukisan, foto-foto. Seko­nyong aku tertegun dengan sebuah marmer yang dipahat: aku membaca tulisan itu, huruf-­huruf awal abad kedua puluh ini dimana huruf U dibikin artistik menjadi huruf V, dan pada marmer itu tertera tulisan yang menyatakan bah­wa rumah ini dibangun oleh Monsieur Rohland Debussy, yang diwariskannya kepada Myriam, puterinya paling bungsu yang dicintai, beserta 50 acre tanah dan kebun perladangan dan sebuah fabrik tenun.

“Hopla!” terdengar seruan dari dalam ka­mar, dan pintu terbuka, Loraine keluar ber­pakaian Perancis kuno berjumbai-jumbai menyapu lantai, sambil berkata dalam gaya sandi­wara:

“Ratu Loraine Debussy, machkota pange­ran Vemon yang hilang akan memasuki ruang­an dansa!”

Aku merasa tolol jika ditinggalkan oleh lelucon ini Aku mencabut sebuah topi gaya John Bull, mengambil sebuah tongkat, dan membungkuk bergaya sandiwara, dan berkata:

“Yang Mulia Ratu Vemon, bolehkah saya menuntun anda mengikuti musik bersama anda?”

Dan malam itu pun kami berdua menari­-nari dalam dansa waltz, dengan sama bersandi­wara bergaya pangeran dan ratu di sebuah ruang­an dalam istana Versailles layaknya.

Dan ini membikin tidur menjadi nyenyak karena keletihan pinggang dan dengkul dan telapak kaki dalam menari begitu. Dan besok pagi­nya kami bergelut-gelut lagi, dalam air dan di ­atas rumputan, tertawa dan sesak nafas. Dan begitupun pada malam harinya! Kami lagi-lagi berdansa waltz dengan asyik, tetapi kemudian kuganggu Loraine dengan menukarnya dengan dansa Rock’n Roll, membuat Loraine kebi­ngungan dengan gaun yang sampai menyapu lantai itu, tetapi Loraine tidak kehilangan akal, diangkatnya gaun itu tinggi-tinggi dan kami pun menari-nari dalam gaya yang cukup gila, mele­tihkan, dan kemudian mengantuk.

Tetapi nyatanya kami tidak tertidur. Kami hanya celentang berdampingan diatas perma­dani, melihat loteng, dengan keringat, mengalir.

“Apa yang sedang kau fikirkan?” tanyaku kemudian.

Mendengar pertanyaanku itu, Loraine yang membantali telapak tangannya, menoleh kepa­daku. Sejenak saja. Kemudian kembali menatapi loteng.

“Loraine, apakah yang sedang kaufikir­kan?”, tanyaku lagi.

“Kau”, sahutnya pelahan.

‘Ya. Engkau”, katanya pelahan.

“Buat apa?” tanyaku.

“Buatku”, sahutnya.

Kubalikkan badan dan kugusai-gusai ram­butnya.

“Kau sudah gila?”, tanyaku sambil me­nyapu keringat di keningnya.

“Ya. Aku sudah gila”, sahutnya.

Aku menelungkup menciumi bantal kursi.

“Aku juga sedang gila”, kataku.

“Kita sebenarnya sedang sama-sama dalam perjalanan bunuh diri”.

“Apa?”, tanyaku.

 “Kau dan aku, dengan gila-gilaan begini, sedang bunuh diri”, kata Loraine.

“Dalam abad keduapuluh ini, setelah dua kali perang dunia, semua individu, kalau tidak memuja diri tentu menyiksa diri, kalau tidak menipu diri tentu merampoki diri sendiri, kalau tidak memaki diri tentu memperkosa diri sendirii, kalau tidak membebani diri tentu bunuh diri Benar katamu! Kita bunuh diri tapi masihhidup Abad ini abad kesunyian! Picasso, pencipta seni modern yang unggul, sedang bunuh diri dengan ciptaan-ciptaannya, begitupun penyanyi pop Elvis Presley, sedang membunuh dirinya sendiri dengan rock’n rollnya. Juga seorang pe­niup suling di Madras India yang kelaparan, sedang bunuh diri deng?n sulingnya. Dan pener­bang jet, parasutist perang, sedang bunuh diri dengan penlengkapan dan senjatanya. Pada abad keduapuluh ini, siapakah yang. tak bunuh diri? Bahkan Reich Kanselier, diktator, presiden dan raja-raja, professor, penemu kimia dan bom nuklir!”



Episode 24
Perempuan Paris


Luapan perasaanku mengalir bagai arus Seine yang kudengar pada malam itu menyanyi sepi sendiri, tak jauh dan tempatku berbicara berdua.

Sekonyong Loraine memagutku. Didekap­nya aku kuat-kuat. Wajahnya mengerikanku:

 “Sahabatku orang asing! Aku takut! Aku ngeri dilahirkan pada abad yang menakutkan ini! Aku kesepian semenjak dilahirkan! Tahukah kau, tak Iama lagi menara Eiffel itu roboh, su­ngai Seine luber berpecah-pecah, dan orang tak sempat menulis dan membaca puisi lagi? Aku ngeri, karena kehidupan modern lama-lama menjadi hidup rutine. Kita makin jadi manusia-­manusia sadar, bahwa kita hanya mengunyah kembali sejarah masa silam dan bukan membi­kin sesuatu yang baru. Makin hari kita semakin sadar, Ating. Dan makin tahu kita pada masa depan kita, makin mengerikan. Sebaiknya tak tahu. Adakah bahagia lagi, jika apa yang terjadi di hari esok sudah kita ketahui detik ini? Apakah arti surprise yang selalu membahagiakan? Bu­kankah penyair Guillame ngeri jika ia sudah tahu hari-hari nasibnya? Kau telah tahu hatiku. Aku telah tahu hatimu. Otak kita sudah seperti mesin hitung yang mengerikan! Dan itulah yang dikatakan oleh Nina Papandreou pada malam sebelum dia mati! O, Ating, peluklah aku!”

Pada saat itu, aku tahu benar, bahwa kami berdua bukan berpura-pura lagi. Aku sudah merasakannya semenjak masih di tanah air, dan perasaan ngeri seperti diucapkan oleh Loraine pun semakin tajam kurasakan selama di negeri asing ini! Ya, aku faham dan aku melihat dan mengalami, bahwa makin lama manusia makin kehilangan romantik kehidupan. Kota-kota be­sar makin lama makin ramai, tetapi dalam ke­ramaian jejalan manusia itu, tiap individu me­rasa sepi sendiri! Ada waktunya nanti seorang penemu peralatan modern dimasa depan me­larikan diri dari laboratorium untuk pergi ke ­tengah-tengah kehidupan primitif, menonton manusia kerdil di tengah benua Afrika memukul gendang, dan disitu sarjana itu menangis, bah: Ia sadar ikut menghilangkan salah satu dari nada gendang primitif itu. Ada waktunya kelak, kaum imigrant bukan datang dari kampung ke suatu negara besar dan ke kota mencari pekerjaan, melainkan orang-orang dari New York tak be­rani naik pesawat supersonic tetapi naik perahu layar mengharungi lautan untuk kemudian men­damparkan diri ke salah satu tempat terpencil di kaki pegunungan Himalaya!

“Kenapa kau Loraine? Kau bermimpi?” tanyaku untuk menghilangkan ketakutanku sendiri sewaktu melihat wajah Loraine yang benar-benar dibayangi kengerian.

“Di laboratonium fakultasku”, kata Lo­raine dengan nafas yang sesak, “Pernah se­orang professeur bertanya: mana yang lebih pintar dukun Afrika mengobati kanker daripada kita yang berada di laboratonium kedokteran ini? Oh, temanku, betapa mengerikan pertanya­an professeur kami itu, sewaktu beliau men­ceritakan kegagalannya membedah satu tumor kanker dalam kandungan seorang ibu, dan akar kanker itu sudah menjalar ke otak pasien itu, dan semua dokter menangis melihat perempuan itu melotot seakan-akan mengutuki semua dok­ter di ruang bedah itu yang belum sanggup me­naklukkan kanker. Oh, temanku, ngerinya!”

“Mungkin kita terlalu banyak berfikir, Lo­raine”, kataku membujuk.

“Tidak. Kau tentu cemas jika kita nantinya gila. Tetapi semua pemikiran baru selalu di­anggap gila. Newton pernah dianggap gila. Julles Verne pun pernah dianggap gila semasa hidupnya. Tapi nyatanya? Semua berbukti. Karya George OweIl juga berbukti dalam tata kehidupan masyarakat berotak mesin hitung !”

“Ciumlah bibirku Ating supaya aku kembali merasa berada di bumi dengan kenyataan marilah kita lupakan tanggung jawab terhadap siapapun dan masa depan, karena kita pun telah tahu, bahwa ketika timbul perang dunia ketiga nanti kita toch telah mati, seperti Nina Papan­dreou menyatakan kepada pengarang nouvelle yang menghadiahkan mobil balap kepadanya sebeIum mati”, mendesah bisik nafas Loraine meremangkan bulu tengkukku. “He, marilah kita sama menjadi anarchist yang tidak meng­hancurkan orang lain, .tetapi marilah jadi anar­chist yang menghancurkan diri kita sendiri. Se­karang juga, Ating, malam ini juga ! Viens pres de mois, rechauffemoi ! Rapproche-toi. J’ai froid ! Rapproche-toi, toute ta personne.

Gemetar aku mendengarnya, karena dia meminta aku memeluknya, memeluknya lebih dekat dan lebih ketat karena dia merasa dingin dan meminta dipanasi olehku, dipanasi oleh se­Iuruh tubuhku! Mata Loraine membikin aku ngeri memandangnya. Mata itu bukan menim­bulkan birahi, tetapi bagai setan yang histeris, o, bukan, bukan, mata itu benar-benar mata kesepian!

Lidahku kelu untuk mencegah pelukannya yang makin ketat, rontaan nafasnya yang men­dengus, dan seluruh yang ada pada dirinya ke­tika itu adalah tanpa peradaban sama sekali, bagai sosok primitif dan nafsu seseorang yang mengucapkan anarchisme yang mau menghan­curkan diri sendiri, muak kepada sikap pura-­pura abad sekarang, dan dihelanya diriku hingga terbanting, dan, Loraine mengamuk menerkam­ku, dan, aku pun kemudian menamparnya agar dia sadarkan diri.

Loraine menangis tersedu-sedu dengan rambut bermandi peluh.

“Sadarlah kau, bahwa seorang gadis pera­wan. Sadarlah kau, bahwa kesunyian itu pun terbatas, dan kegilaan pun ada batasnya. Jika aku tunduk dengan seleraku saja, tahukah kau bahwa nantinya engkau bisa hamil, sedangkan aku makin tahu bahwa aku tidak mencintaimu dan kau pun tidak mencintaiku. Nantinya lahir seorang bayi haram yang diperbuat tanpa cinta. Tidak, Loraine, aku bukan moralis. Hati nu­raniku mencegahku sekalipun sesungguhnya aku bisa memberikan personneku bulat-bulat kepadamu! Jangan sangka aku ini lelaki tanpa nafsu! Tidak, perawan manis. Aku selama ini melihatmu bagai melihat kentang sewaktu lapar. Tetapi aku lawan semuanya itu. Juga dengan Nina aku berhasil melawannya! Empat tahun aku melawan kedirianku sendiri, dan, sebentar ini kulawan lagi, maukah kau mengerti?”

“Ya”, serunya dengan suara teramat per­lahan.

“Aku sendiri sudah lama butuh perem­puan”, kataku mengeluh. Gemetar tubuhku, seperti tak punya daya apa-apa lagi. Bukan ke­takutan yang membuat telapak tanganku ber­sitelekan sebab gemetar begini melainkan karena aku sehabis melawan sesuatu yang juga menga­muk dalam jiwaku mendengar rintihan perempuan ini di rumah kecil ini justru karena hanya aku dan dia berdua saja di rumah sunyi ini.

“Kenapa kutegur pula engkau, orang asing, di avenue de l’Opera beberapa waktu yang lalu itu?”, tanyanya seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Episode 25
Perempuan Paris


“Pertemuan tak bisa dielakkan”, sahutku.

“Mengapa pertemuan itu harus ada?” tanyanya mengisak-isak.

“Karena kita makhluk-makhluk yang ter­lempar ke dunia ini”.

“Dan mengapa kita harus ada di dunia ini, sedangkan dunia ini mungkin telah bosan me­nontoni perangai manusia, kepalsuan yang di­buat-buat, peraturan-peraturan tiada akhir­nya”, kataku. “Sesuatu yang terlalu telanjang, pada akhirnya memuakkan. Orang perlu me­nyembunyikanl sesuatu. Dan sesuatu itu sudut hatinya yang paling halus. Dan kukira itulah culture, jiwa manusia sepanjang zaman”, kata­ku.

“Dan penari streep-tease?” tanyanya.

“Itu bukan culture. Itu pekerjaan untuk mencari sesuap nasi. Jangan samakan pelacur dengan wanita serong; jangan samakan pula golongan les nudes dengan penari streep atau kanak-kanak telanjang; dan bila kita tanyai se­mua yang hampir sama itu masih tetap ada bedanya. Bedanya terletak dari sudut hati yang berbuat. Beda itu culture”, kataku.

Lelah rasanya aku mencari perkataan lain agar Loraine tak merasa malu dan terlanjur ka­rena telah meminta sesuatu yang tiada kuberikan untuknya. Semua itu tiada kuberikan bukan de­ngan pretensi moral atau kaidah apapun, me­lainkan kesadaran perseorangan. Heran aku, makin berkata terus-terang begitu, makin ber­simpati aku kepada Loraine dan sedikitpun aku tak menganggapnya gadis murahan yang gampang meminta sesuatu kepada lelaki. Tidak, Loraine tetap luhur dalam pandangan jernih­ku! Berlain sewaktu kuhadapi Nina Papandreou almarhum. Bukan saja aku punya firasat bahwa dia ini perempuan lacur yang akan menjebak­ku untuk mengawininya tetapi, ketika itu aku masih berfikir untung rugi untuk memenuhi dambanya, menggeletakkan tubuh dengan sikap menerbitkan selera untukku, — o, menjijikkan kulihat Nina Papandreou berpose pada sofa, lebih suka aku melihat sapi betina di tepi sungai Gangga! Tetapi terutama perasaan untung rugi, karena ada ruginya ketika, .itu sewaktu aku de­ngan angkuh mendengarkan Nina anak haram. Dan akupun mengangkuhkan diri bukan karena pemikiran seorang manusia modern, melainkan tradisi yang kuterima dari atas, dan atas, dan atas. Memang tradisi terkadang kejam. Aku ingat seorang anak lelaki berambut pirang di sebuah kota, yang dimusuhi oleh orang-orang karena dia anak haram tentara Nica yang meni­duri perempuan di kota itu. Alangkah kejamnya masyarakat kota itu yang memusuhi anak haram mirip Indo itu, yang dia sendiri tidak meminta untuk dilahirkan! Herannya, tradisi itupun hinggap di hatiku setelah mendengar kejujuran Nina Papandreou yang merasa anak haram ten­tara Nazi!

Kepada Loraine tidak. Aku masih sempat menyusun rambutnya yang bergerai menutupi mukanya, aku masih sempat hiba mendengar dia menahan dan mencoba menghabisi isak sesal tangisnya. Memang sungguh tidak adillah aku yang memperbedakan Loraine dengan Nina!

“Lebih baik kau tidur”, kataku.

“Aku tak bisa tidur. Aku malu! Aku malu kepadamu! “, katanya.

“Jangan malu kepadaku. Aku bukan se­orang penghukum”, kataku.

“Tapi aku telah menghukum diriku, lan­cang meminta kepadamu!”

“Kau merasa terhukum oleh dirimu sendirii? Bukankah semua itu telah kau persiapkan de­ngan sadar, bahwa kau tadi mau jadi anarchist yang mau menghancurkan diri sendiri? Kenapa tak naik saja ke menara Eiffel, loncat ke bawah, lalu mati, atau, kendarai mobil cepat-cepat Se­perti Nina Papandreou, dan mati secara absurd saja?”, tanyaku sengaja mendesaknya supaya dia sadar.

Rupanya dia sadar. Loraine tidur nyenyak dalam pangkuanku. Aku sendiri memaksa diri supaya jangan tidur, karena aku khawatir nanti dia memikirkan hal-hal yang sesat. Sebab aku percaya, bunuh diri bukan karena manusia bo­doh, bahkan di kota besarpun manusia bunuh diri, sekalipun di kampungku ada orang bunuh diri karena tidak sudi dikawinkan dengan lelaki beristeri tiga, misalnya.

Paginya Loraine kelihatan lesu. Sewaktu dia mandi dengan air panas di pagi itu, aku men­dengar suara derum mobil di depan rumah. Aku keluar. Aku melihat sebuah Mercedes-Benz hati ­ayam seperti pernah kulihat. Aku melihat se­orang perempuan turun bersama seorang lelaki tua. Aku keluar menyambut mereka. Yang pe­rempuan matanya exotic sekali, dan lembut se­kali memperkenalkan namanya: Myriam Debus­sy.

Sewaktu perempuan itu menyebutkan na­manya, matanya menatapku dengan pandangan seorang Roin, seorang ratu aristokrat. Dan le­bih daripada itu, pandangannya penuh curiga kepadaku.

Kuperkenalkan juga namaku, dan kusebut­kan asalku dari Indonesia.

“Oh”, katanya, “Jadi monsieur adalah seseorang yang mendatangi saya didaerah su­bur sewaktu saya mandi beberapa hari yang lalu? O, sayang saya tak bisa menjumpai saudara karena sedang mandi dan kata kemanakanku Loraine pun saudara menunggu di mobil”.

“Madame benar sekali”, kataku.

“Dan ini’, katanya menunjuk lelaki tua di sebelahnya, “ini adalah seorang penyair besar di abad ini. Anda mungkin telah pernah mem­baca puisinya. Tentu pernah bukan?”, tanya Madame Myriam Debussy.

“Justru saya ingin mendengar nama mon­sieur ini dari Madame”, kataku mengaristokrat­kan diri pula dan mengulurkan tangan kepada lelaki tua itu.

“Beliau adalah penyair Ron Saragat”, kata Madam Myriam Debussy.
Episode 26
Perempuan Paris


“Oh”, kataku terkejut, dan tiada lebih dari sebuah kata “Oh” yang bisa kuucapkan.

“Mana Loraine?” tanya perempuan itu yang menurut perkiraanku tak beda usianya dengan usiaku.

“Loraine sedang mandi”, kataku.

“Suatu cuti bolos yang menyenangkannya, barangkali?”

“Memang kami merasa senang selama be­berapa hari di kota Vemon ini. Kota ini pernah saya baca semasa masih muda dulu di waktu sekolah, dan saya membacanya melalui pujang­ga negeri nyonya yang termasyhur, Emile Zola itu”.

Dengan sebuah payung sutera merangkap tongkat, Madame ini menunjuk sebuah rumah dekat bukit, katanya: “Itulah kira-kira rumah model Emile Zola sewaktu menulis roman The­rese Raquin.”

“Oh”, kataku mencoba membesarkan hati, “Mulanya kukira rumah madame ini yang jadi rumah dalam roman itu”.

“O, tidak. ini rumah baru, didirikan tahun 1907, jadi belum pernah almarhum Zola melihat rumah ini. Kalau ia masih hidup, tentu rumah inipun menjadi model ceritanya. Marilah kita masuk ke dalam. Angin terlalu kencang berhem­bus dari sungai”, kata Madame Myriam De­bussy kemudian.

“Aku berharap Loraine segera keluar. Te­tapi aku berharap penyair Ron Saragat agar lebih ramah lagi, lebih banyak berkata lagi.

“Monsieur Ating……….“, kata perem­puan itu kemudian, “Nama anda sering disebut oleh kemanakanku. Aku datang kesini ingin memarahi Loraine. Aku menjaga tradisi baik negeri ini!”

Yang kuharapkan, agar Loraine segera muncul pun, terkabul.

Loraine berdiri dengan wajah kaget. Se­perti tak percaya bahwa dia kini dikunjungi. Senyumnya melena sejenak pada bibirnya yang lembut merah jambu itu, dan kemudian dia me­mekik, mendekap penyair tua itu:

“O. Ron, Ronku sayang! Aku hampir mati tanpa kau!”

“Dan aku datang ingin memarahimu”, kata Madame Myriam Debussy.

Loraine kelihatannya tak perduli dengan larangan bergaya aristokrat bibinya ini, bahkan kulihat Loraine mencium dan memeluk dan me­magut dan menciumi lagi penyair tua itu dengan amat dahsyatnya, yang menyebabkan aku mene­kan nafas beberapa kali dan merasa jijik melihat Loraine tersedu-sedu, “O, kekasih,kukira engkau berkata sungguh-sungguh bahwa cinta­mu telah tak bersisa lagi untukku. Kini nyata­nya aku menjadi hangat dua kali lipat”.

Aku meminta maaf kepada Madame My­riam Debussy untuk pergi ke kamarku mengam­bil rokok. Tetapi Madame Debussy berkata:

“Tak usah monsieur melelahkan diri ke dalam. ini rokok BenSon untuk mengisi pagi yang dingin ini”.

Kuambil rokok Ben-Son sebatang. Mataku kepingin melihat apa selanjutnya yang terjadi antara Loraine dan penyairnya yang pulang kembali itu, tetapi telingaku mendengar suara Loraine kemudian:

“O, Ron, putera aktor Saragat yang mem­buatku cemburu, kenapa kau membikin lelucon asmara sejelek itu?”

“Mari kita bicarakan di kebun”, kudengar suara penyair itu. Dan kemudian, yang kude­ngar, telapak sepatu Loraine dan sepatu penyair itu saja, yang makin menjauh dan menjauh.

Aku memikir sedetik saja apa yang harus kuperbuat. Dan aku robah watakku menjadi watak manusia penggembira! Aku berkata de­ngan suara orang Spanyol berbahasa Perancis kepada perempuan yang sedang terpesona me­mandangi kepergian kemanakannya dengan Ron Saragat itu, kataku:

“Aku tak menduga bahwa Madame sebe­gini muda dan jelita!”

“Keterlaluan pujian anda itu, Monsieur Aton —”, katanya menahan senyum.

“Sebuah lukisan reproduksi pelukis Corot dari negeri nyonya, yang menggambarkan pe­rempuan duduk sehabis membaca, mirip sekali wajah itu dengan wajah anda, Madame Myriam! “, kataku menggembirakan diri.

“Anda menyukai lukisan-lukisan?” tanya perempuan itu, merobah sikap anistokratnya yang tadi menahan diri menjadi spontan.

“Saya menghafal nama-nama pelukis Pe­rancis seperti anak sekolah normales, hah, sung­guh menggembirakan hati mengagumi seniman besar seperti Delacroix, Corot, Degas Re­noir, dan Pissaro”, kataku.

“Tuan orang Asia yang mencintai seni Pe­rancis!”, serunya senang.

Aku terbahak. Tetapi sebenarnya aku me­nangis dalam hati. Aku bicara di beranda rumah ini, di Vemon, dengan madame yang cantik ini, tetapi fikiranku melayang ke kebun, memba­yangkan Loraine dan penyair Ron Saragat yang tua itu berpeluk mesra, Belum pernah dadaku merasa seperti terbakar macam sekarang ini! Bahkan sewaktu isteriku sendiri, Sutijah, di ta­nah airku dulu berbicara mesra dengan seorang pengusaha sabun aku tidak merasa dadaku ter­bakar seperti saat ini. Kenapa tadi malam aku tak memberikan diriku sepenuhnya kepada Lo­raine sewaktu Loraine berkata Rapprochet Oi! Toute ta personne!

Aku terbahak lagi untuk menutupi pedih hatiku kepada Loraine, agar Madame Myriam tiada mengetahui luluhnya perasaanku waktu itu!

Madame Myriam tinggal di daerah su­burbaine. Orang-orang Paris menye­butnya “couronne suburbaine” Vau­cresson, terpencil dan meneduhkan hati. Menurut perempuan ini, suburbaine itu hanya berpen­duduk kurang dari sepuluh ribu manusia. Aku mengunjungi tempat ini bersama Loraine se­belum kami ke Vemon. Segera saja teringat olehku perumahan-perumahan suburbaine ini mirip sekali seperti Cipayung di tanah air. Ba­nyak sekali flat-flat bertingkat empat. Tetapi Madame Myriam tidak hidup bersama commune flat-flat yang bertingkat itu, karena dia suka menyendiri. Katanya, disitu hanya dia sendiri yang mempunyai bungalow tunggal.

“Alangkah senangnya”, kataku.

Episode 27
Perempuan Paris


“Memang senang sekali”, kata perempuan ini.

Kupandangi dia lama-lama untuk meneliti dirinya. Tetapi ini membikin Madame Myriam menjadi gugup, dan kegugupan itu membuat dia memperbaiki rambutnya yang berwarna coklat-jingga, dan sekali-sekali seakan-akan mencari sesuatu di dalam tasnya. Kemudian di­berikannya sebuah benda kepadaku. Benda itu empat segi sepersegi rokok Newport, logam tipis berukir. Pada permukaan logam tipis itu tertulis nama Madame Myriam Debussy dengan huruf berukir serta alamatnya di suburbaine dan Vemon ini.

“Kartu nama yang bagus sekali”, kataku seraya menimang-nimang logam itu, dan kemu­dian kucari dompet pasporku dan kumasukkan benda itu. Dalam diriku timbul keyakinan bah­wa Madame Myriam Debussy memang salah seorang dari sisa kaum bangsawan Perancis. Dan syarat-syarat itu cukup ada padanya rasa hormat diri, sikap hati-hati dan gerak-gerik yang dibuat-buat yang di tanah airku kami namakan sifat ayu-kemayu.

Dulu seringkali kemanakanku Loraine datang ke suburbaine. Tapi hari-hari belakangan ini dia jarang berkunjung, mungkin karena sedang menyingkirkan perasaan sepinya kepada anda. Apakah anda senang bergaul dengan Lo­raine?” tanya Madame Myriam kemudian.

“Senang sekali. Salah-salah bisa jatuh hati kepadanya”, kataku ketawa. Dan Madame juga ketawa tertahan-tahan, katanya “Memang anda tak salah. Sikap-sikapnya bisa membuat orang lelaki jatuh hati kepadanya. Mahasiswa-mahasiswa fakultas kedokteran Universite de Paris banyak yang kecele dan jatuh cinta pada kemenakanku Loraine”.

“Saya kagum kepada kecerdasan otaknya”, kataku.

“Dan anda pun lelaki yang menyenangkan tampaknya pada kesanku yang pertama. Pantaslah apabila Loraine betah dengan anda. Anda punya sikap kebapakan, — apakah sering Lo­raine menyebutkan panggilan mon pere pada anda, karena sikap anda yang kebapak-.bapakan itu?”, tanyanya.

“Sering sekali”, sahutku ketawa, “Ke­napa?”

“Tetapi lelaki yang seperti monsieur Ron Saragatlah yang disukai oleh Loraine. Sesung­guhnya anda masih muda, monsieur Ating. Jika anda tidak keberatan, monsieur Ating, ingin saya menanyakan umur anda, dan sudah berapa lamakah anda di Paris. Tak keberatan?”

Sebenarnya aku muak dengan percakapan yang dihejan-hejan%%% ini, karena aku lebih suka kepada sifat seseorang yang spontan untuk ber­kata-kata. Namun kulayani dengan baik, dan kukatakan umurku sudah 33 tahun dan aku telah dua tahun tinggal di Paris.

“Anda seorang professeur?” tanyanya.

“Bukan”, sahutku.

“Apa pekerjaan anda? Apakah gaji anda di Paris ini memuaskan?”

“Apakah perlu saya terangkan pekerjaan dan gaji saya?”, tanyaku ketawa sekalipun hati­ku mendongkol karena sudah tiga kali kutemui di kota ini orang-orang keturunan feodal ber­tanya begitu.

“Keberatan?” tanyanya.

“Tentu keberatan sekali, madame. Dan tak ada perlunya madame ketahui”.

“Nomor tilpon anda? Apakah anda tinggal di sebuah rumah sendiri, hotel, lodgement atau rumah sewaan?” tanyanya.

Kuberikan kartu namaku kepadanya, se­buah kartu nama terbuat dari kertas karton berl­apis kain batik dengan huruf cetak tinta-emas.

“Anda tentu seorang seniman”, kata Madame Myriam sambil meneliti kartu namaku, dan “Kalau anda bukan seorang seniman atau gentleman, tentu persahabatan kalian tak ber­langsung lama. Anda tahu, bahwa Loraine cepat bosan kepada seorang teman lelaki, tetapi dia betah kepada monsieur Ron Saragat? Aku men­coba ingin tahu rahasia daya pikat Ron Saragat yang memukau kemanakanku. Akhirnya ku­temui fenomenon gadis-gadis Eropah yang ber­faham absurd, bahwa mereka suka kepada lelaki tua, pemuda Afrika atau Negrito, atau orang seperti tuan sendiri, orang Indonesia, negeri yang kami kenal di belahan garis equator”.

“Anda juga seorang ahli ilmu bumi, ma­dame”, kataku memujinya, karena aku menge­tahui benar wanita feodal umumnya suka dipuji.

Mendengar ini, Madame memang senang, katanya: “O, tentu saja. Tentu saja. Percuma menjadi seorang Parisienne. Paris! Paris, capi­tale intellectuelle et artistique, membikin aku betah pada kota ini, terlebih setelah aku me­nammatkan pelajaran di Sorbonne, sering aku mengisi pengetahuanku dengan lectures. Pernah di kota Paris ada pameran lukisan Indonesia. Aku senang dengan Bali! Bukan sebagai seorang yang berfikir turis, tetapi sebagai intellectuelle yang mencintai kehidupan Bali Lakmesia yang artistique! O, ingin aku hidup bersama mereka. -Lima tahun yang lalu aku berdiam di Kongge selama dua bulan, di Zulu tiga bulan. Kehidupan masyarakat di underdeveloped country memang memikat hati. Disitu ada kejujuran. Apakah negeri anda termasuk masyarakat underdeveloped juga?”

“Setelah kemerdekaan, ekonomi kami me­ngalami collapse’, kataku.

“Loraine banyak bercerita tentang anda, monsieur Ating. Saya tertarik kepada negeri anda itu. Oya, apakah anda telah punya isteri Indonesia?” tanyanya kemudian.

“Saya sudah punya isteri”, kataku tanpa pasang dusta lagi.

“Punya anak?” tanyanya.

“Tiga orang anak”, kataku tanpa pasang dusta juga, sekalipun dalam nafas yang berat.

Memang kali ini aku berjujur kepada pe­rempuan ini, kejujuran yang selama ini kumus­nahkan bahkan kumusnahkan juga untuk ber­jujur hati kepada diri sendiri.

Episode 28
Perempuan Paris


“Anda seorang manusia yang berbahagia, monsieur Ating”, berkata Madame Myriam De­bussy kemudian.

Aku berfikir kemudian, bahwa, sekiranya aku perturutkan perempuan ini mengobrol terus denganku, dia akan betah ngobrol hingga larut malam karena aku mengetahui benar watak perempuan feodal Eropah yang menyukai obrol­an kosong dan lebih-lebih lagi pergunjingan ter­hadap seseorang yang buruk atau sanjungan berkelebihan? terhadap seseorang yang baik me­nurut pandangan subyektifnya. Maka kemu­dian aku berkata:

“Ada baiknya saya keluar sebentar mencari Loraine. Hanya sekedar memberi tahukan bah­wa saya harus segera ke Paris saat ini juga”, kataku.

“Sebaiknya anda disini saja, monsieur Ating. Mereka sedang membangun menara cin­ta, la tour d’amour, yang selama ini diselubungi kabut. Mengusik orang-orang mabuk asmara sama mengerikan seperti mengusik singa betina di rimba Afrika”, kata Madame Myriam, yang membuat wajahku merah padam karenanya.

“Mungkin anda ingin mengopi”, kata Ma­dame Myriam kemudian.

Dia tak menunggu jawabanku, lalu pergi ke mobil Mercedes-Benz dan membawa sebuah thermos. Lalu pergi ke dapur rumah kecil ini dan membawa sebuah tatakan yang berisi lengkap.

Kami minum kopi pada siang mendung begitu.

“Apakah anda suka kepada pertunjukan opera ?” tanya perempuan ini.

“Suka. Sekalipun jarang menonton”, aku menyahut.

“Kehidupan yang menjemukan ini perlu dapat hiburan”, katanya.

 “Dan setelah hiburan berlalu, kehidupan kembali jemu”, kataku.

“Benar. Seperti di musim panas berdiri di ­atas pasir di pinggir laut dengan bertelanjang kaki. Sekali air laut membasahi kaki, kemudian ombak pun surut, kaki kita kering, tetapi ke­mudian basah lagi”, tambahnya.

“Apakah sewaktu madame tinggal di Konggo dan Zulu pernah merasa jemu?”, tanyaku memancingnya.

“Hampir tak pernah. Dunia begitu sangat baru buatku. Kejujuran dalam manifestasi ke­hidupan adalah sangat baru bagi aku yang se­lamanya merasa beku di kota”, katanya, “Maka­nya aku sering kembali ke Vemon ini untuk menghilangkan beku itu”.

“Apakah suami anda juga suka kepada hiburan?” tanyaku.

‘Suamiku?” lonjaknya dengan spontan, “Oh, Gabriel tak pernah memikirkan kejemuan. Ia seorang lelaki dinamis. Ia seperti mesin yang berputar. Jarak dunia telah menjadi dekat bagi­nya. Perjalanannya jika dijumlahkan meliputi jarak antara planet Bumi sampai ke Bulan. Apa­kah anda mengira aku berdusta?”

“Oh, bukan”, kataku mencoba ketawa, “Madame tentu lebih tahu tentang perjalanan suami anda. Saya menduga suami anda saat ini tidak berada dikota Paris!”

“Betul”, kata Madame Myriam dengan se­nang, “Gabriel saat ini ada di Hollywood. Mungkin musim winter nanti dia kembali lagi ke Paris”.

Suaminya sedang di Hollywood, fikirku, dan sewaktu berkata demikian aku melihat mata Madame Myriam kosong dan dingin.

“Gabriel punya cukup uang untuk berbuat segalanya”, kata Madame Myriam lagi, “Apa­kah yang lebih daripada itu dalam kehidupan duniawi abad sekarang. Abad ini abad les trans­ports, manusia gelisah di tempatnya sendiri, ingin perjalanan jauh. Hidup menetap di suatu tempat adalah konservatif, bukan?”

‘Saya hampir menyetujuinya, Madame”, kataku.

“Tentu anda harus menyetujuinya. Kege­lisahan hanya bisa lenyap dalam perjalanan dalam membeli souvenier buat teman, bergaul dengan orang-orang termashur, bintang-bintang film, menonton aduan sapi dan melihat foto-­foto sensasi terhadap kematian-kematian me­ngerikan, dan, tentu saja juga menonton tarian telanjang di Cairo atau Hong Kong dan Tokyo barangkali?”, Madame Myriam tersenyum sinis kemudian, menatap kepadaku dengan tatapan mata yang sunyi.

 “Apa anda gelisah saat ini?” tanyaku.

“Dan anda sendiri, monsieur Ating? Anda juga gelisah saat ini?”, tanyanya kepadaku.

“Akupun sedang melarikan diri dan kege­lisahan”, kataku jujur.

‘Mengapa?” tanya Madame Myriam De­bussy.

“Takut pada masa depan”, sahutku cepat.

“Mengapa anda takut? Anda punya isteri dan tiga anak, bukankah itu pelabuhan yang teduh bagi manusia?”.

“Karena aku punya isteri dan tiga anak yang kutinggalkan di tanah air makanya aku ge­lisah. Jika aku masih bujangan, mungkin aku tak gelisah sekarang. Aku jemu memikul tang­gung jawab. Tanggung iawab terhadap seseorang lain yang aku bebani beberapa tahun yang lalu merupakan neraka. Dan aku terdampar ke ne­geri kalian ini, menghindar dari neraka itu, menghindar dari tanggung jawab”, kataku jujur.

“Omega”, kata Madame Myriam Debussy dengan keluh panjang.

“Apa yang anda maksudkan dengan perka­taan Omega?”, tanyaku.

Episode 29
Perempuan Paris


“Omega adalah huruf terakhir daripada alphabet Junani, monsieur. Lihatlah trademark pada arloji anda, monsieur. Itu huruf Junani yang terakhir. Dan lelaki-lelaki yang takut me­mikul beban aku sebut sebagai keluhan Omega. Buatku Omega adalah suatu puncak, top, tanpa memikirkan apakah itu puncak kehancuran, ke­takutan, kematian, kebahagian ketololan. Se­mua kusebut Omega! Kenapa anda tersenyum mengejek?” dia kemudianl bertanya.

“Anda menyenangkan hatiku, Madame Myriam”, kataku.

“Kenapa?” dia kemudian heran.

Anda mengembalikanku kepada pribadi yang sejati. Aku seakan selama ini berputar pada suatu spiral hidup, dan siang ini aku kembali pada suatu orbit, bahwa manusia tidak bisa lari dari orbitnya, kemana pun, dimanapun, bi­lamanapun!”

“Maukah kau menerima undanganku, monsieur Ating?” tanya Madame Myriam De­bussy kemudian.

“Undangan bagaimana?” tanyaku.

“Datanglah pada suatu saat dimana engkau merasa jemu, telpon aku ke rumahku di subur­baine Vaucress On. Percayalah monsieur, bahwa tuan takkan mendapatkan apa-apa pada pribadi kemanakanku Loraine”.

Pada akhirnya, aku menemukan diriku kembali di kota Vemon ini! Pendapat Madame Myriam tentang pribadi Loraine kemudian me­mang berbukti. Lima jam lebih gadis itu ber­sama-sama penyair tua entah kemana, kemudian dia pulang kembali dengan wajah yang begitu segar. Pipinya yang selama ini memucat, kulihat merah jambu.

Udara lembab mulai terasa pada waktu akan memasuki malam di kota kecil sepi sungai Seine ini. Aku melepaskan diri dari mereka, ber­jalan sendirian keluar masuk toko-toko sambil merencanakan apakah aku perlu pulang kembali ke Paris pada malam ini juga! Tetapi kutimbang-­timbang, bila aku menyatakan diri kepada Lo­raine ataupun Madame Myriam ataupun penyair tua Ron Saragat, tentulah ini sebagai pengakuan bahwa aku pulang sebagai seorang yang ngam­bek. Betapa buruknya perempuan menilai lelaki pengambek sudah kuketahui. Tetapi kufikir pula, buat apa aku lagi-lagi menutupi segala se­suatu dalam hidup ini dengan sifat-sifat dusta, hanya kepingin disangka kuat oleh lain orang? Buat apa penipuan ini semua? Aku harus ber­kata terus terang. Dan akupun melangkah! Me­langkah kembali menuju rumah yang dikelilingi taman ditepi tebing sungai Seine itu.

“Mana Loraine?” tanyaku kepada Madame Myriam Debussy yang barusan membuka bung­kusan coklat.

Dia menawarkan sepotong coklat kepada­ku, dan aku menerimanya.

“Kau tau sendiri. Mereka sedang bercum­bu”, katanya.

“Oh”, aku menyahut.

“Mau kemana kau seperti tergesa-gesa?”

“Paris”, aku menyahut. “Tetapi aku perlu berjumpa sebentar saja dengan Loraine. Apakah jika kuganggu sekarang ini keadaannya masih seperti singa betina Afrika yang terganggu, Ma­dame Myriam?” tanyaku.

“Aku akan menolongmu”, kata Madame Myriam. Dia berjalan ke depan pintu sebuah kamar.

Kemudian Madame Myriam mendatangiku lagi, dan berbisik: “Monsieur Ating! Jangan anda kecewa. Penyair Ron Saragat sedang mem­bacakan sebuah sajak untuk Loraine”.

“Lama lagi sajak itu akan selesai dibaca­kan?” tanyaku.

“Mungkin hanya lima menit saja lagi. Aku tahu, puisi karya Ron Saragat dicintai gadis­gadis remaja di paris. Puisi itu merupakan se­perti ballada. Kukira lima menit saja lagi. Aku tadi mendengarkan ballada itu dua baris, mon­sieur Ating. Tetapi mengapa anda begitu ter­gesa. Dirumahku ini ada empat kamar tidur. Masing-masing kita dapat menempati satu kamar seorang. Dan aku masih kepingin ngobrol lagi dengan anda malam ini jika anda tak kebe­ratan, monsieur Ating!”, kata Madame Myriam.

“Aku berpendapat bahwa aku harus kembali ke Paris”, kataku. Aku duduk pada sebuah kursi kuno. Karena sewaktu kulemparkan diri­ku tak kutahu lebih dahulu bahwa kursi ini kursi putar, begitu aku terduduk aku diputar pada sumbunya sehingga kepalaku pening.

“Sebaiknya anda disini saja malam ini, monsieur. Terlalu banyak kabut agaknya dalam “perjalanan”, kata perempuan itu lagi. Kupan­dangi wajah Madame Myriam sejenak. Kuang­gap saja wajah itu mengkhawatirkan keberang­katanku dengan kekhawatiran palsu.

“Aku punya usul lain”, kata Madame Myriam, “Andaikata Ron Saragat selesai membaca­kan puisi bagi kemanakanku Loraine, ada baik­nya kita lebih dahulu bersama-sama melakukan dinner, dan Ron Saragat karena mereka tak lama lagi akan melakukan pertunangan mereka di Paris’’.

“Saya menyetujui”, kataku. Kutawarkan rokok Newport kepadanya, tetapi dia menun­jukkan sebatang rokok Ben-son yang masih menjepit di jarinya, “Merci, monsieur”.

Aku mengisap Newport sambil sekali-sekali melirik kepada Madame Myriam Debussy. Terkadang lirikan kami bertemu dalam pertemuan kesunyian yang sama. Dan pada saaat itu pula imanku guncang sejenak. Tapi kutemukan diri­ku kembali, lelaki Omega, punya isteri dan tiga orang anak yang ditinggalkan di tanah air, seba­gai manusia yang seharusnya berbahagia. Andai­kata aku bermalam di rumah ini, dan aku punya kamar sendiri yang tentu bersebelahan dengan kamarnya, aku bisa saja mengetuk pintu yang berhubungan dengan kamar Madame ini untuk mengobrol lagi, atau melepaskan sepi masing­-masing. ini pernah kulakukan sewaktu aku indekost di rumah seorang janda di Nederland. Tetapi apakah ini menyelesaikan kesepian itu, seperti halnya mereka yang mencari kesibukan bertaruh balapan motor, atau tertawa-tawa palsu di villa pegunungan; Dan sekiranya tadi malam kuberikan seluruh tubuhku kepada Loraine, atau dulu kepada Nina Papandreoti, apa­kah itu berarti aku dapat menghapus rasa jemu dan sepi dan berkata bahagia kepada duniaku? Kukira tak mungkin.

Sehabis dinner aku merasa memang aku terlalu banyak minum. Kepalaku agak pusing. Te­tapi aku masih merasa kuat menguasai diri. Aku mendekati Loraine yang sedang asyik berbicara dengan Ron Saragat. Kataku:

“Malam ini juga aku menuju Paris. Terimakasih atas semuanya”, dan kucium pipinya ke­duanya. Kepada Ron Saragat aku mengangguk. Dan dia berkata kepadaku bahwa sekali waktu dia akan ke Indonesia apabila dia dan Loraine telah kawin kelak. Aku tersenyum hambar. Tak kuperlukan lagi tertawa palsu mendengarkan rencananya. Dan kusalami Madame Myriam dan kucium dua belah pipinya, dan berkata:

“Selamat istirahat, Madame. Selamat tinggal”, dan aku melangkah menuju mobil Simca-ku.

“Nanti dulu”, Madame itu kemudian ber­kata menyebabkan aku kembali berbalik kepa­danya yang berdiri di pintu. Kupandangi dia ter­senyum dan berkata dengan suara bisik yang agak kuat: “Kaufikir aku tidak makin sunyi me­lihat sepasang manusia yang rujuk kembali da­lam cinta?”

Aku masih heran seketika itu juga, tetapi dia meneruskan: “Maukah kau menolongku membawakan sebuah koffer dan sebuah ther­mos?”

“Apa maksud Madame?”

“Karena aku benci pada kesunyian. Tolong­lah koffer dan thermosku tuan bawakan ke mo­bilku”, katanya bergegas masuk dan kemudian membawa sebuah koffer dan sebuah thermos yang kusambut dan kuangkat ke mobil Mercedes Benznya. Kudengar kemudian suara musik jazz dari rumah kecil itu ketika kulihat Loraine me­lambaikan tangannya di pintu. Mobil Madame Myriam Debussy berjalan lebih dahulu. Aku menyusul dalam kecepatan 40 km dengan Simca­ku dibelakang. Dan lampu-Iampu semua me­nyala samar di tepi-tepi jalan. Selamat tinggal, Vemon, selamat tinggal.

Dikota kecil Porcheville kami berhenti. Aku berkata kepada Madame Myriam bahwa aku tidak jadi meneruskan per­jalanan ke Paris, melainkan akan belok ke kiri ke kota kecil Champagnesur Oise. Dia kaget se­kali mendengarnya.

“Kenapa kau merobah haluan? Enam puluh mil lagi ke Paris, kau mau membiarkan saya sendirian dengan Mercedes-Benz ini?”, tanya­nya geram.

“Kukira tak ada suatu halangan di jalan, Madame. Nyonya sudah biasa bersendiri, bu­kan?”

Mendengar ucapanku itu, Madame Myriam Debussy putus asa sekali. Perempuan itu kelihatan seperti akan menangis. Kepalanya tun­duk. Sekali melihat ke mobilku, sekali lagi me­lihat ke mobilnya, lalu kedua biji matanya yang biru dalam malam berkabut itu menatap mata­ku.

Dan kemudian dia tunduk lagi, berbisik “Untuk apa kau pergi berseorang diri ke Chain­pagnesur-Oise itu? Sendiri?”

“Temanku Henri ada disana dalam tiga hari ini. Ada urusan yang bersifat business”, kataku.

“Aku jadinya mengganggu kesenangan­mu”, katanya.

Episode 30
Perempuan Paris


Mendengar suaranya yang luruh, aku bimbang sesaat. Bagaimanapun juga aku mengeras­kan hati, aku percaya bahwa yang membimbang­kan hatiku bukanlah godaan terhadap iman melainkan kehibaan biasa.

Ketika mataku melihat dia melangkah sam­bil menunduk dengan langkahnya yang tertegun­-tegun itu, aku menghampirinya. Dan kuperbaiki kelepak mantelnya. Diapun memperbaiki sarung tangannya ketika itu dengan kepala tetap ter­tunduk. Dia akan membuka pintu, dan aku ber­kata:

“Madame”, dan kutolong dia membuka­kan pintu, “Saya akan mengiringi madame dari belakang sampai ke Paris”.

Dia mengangguk kecil, sekilas kudengar isak tangisnya yang ditahannya. Ketika dia telah duduk di depan stir, kutolong menutup pintu, dan berkata lagi: “Memang anda tak boleh sen­dirian, madame Debussy”.

Mercedes-Benz berjalan tenang di depanku. Melalui kaca mobil aku melihat perempuan di ­depanku itu sekali-sekali menghapus mukanya Dan sekali-sekali pula kelihatan olehku dalam sorot lampu Simca yang kusetir ini wajah Ma­dame Myriam Debussy menoleh ke belakang, mungkin masih khawatir kalau-kalau aku me­nyimpang.

Memang pada saat itu aku menyangka bah­wa Madame Myriam Debussy hanya pura-pura takut sendirian saja ke Paris. Tetapi beberapa hari setelah itu, dia menelponku dan menyata­kan terimakasihnya kepadaku.

“Bukan kesunyian yang kutakutkan, mon­sieur Ating”, katanya dalam suara telpon, “Te­tapi aku khawatir pada maut. Siapa tahu dalam perjalanan itu aku mengantuk dan kecebur ke sungai Seine tanpa seorangpun yang tahu. Coba kau fikir, betapa sedih mati seorang diri”.

“Tetapi lebih sedih lagi hidup seorang diri”, tambahku dalam telpon. “Tetapi setiap kita memenangkan kesedihan, kita tambah kuat rasa­nya”, sahut Madame Myriam.

Aku kehabisan bahan untuk menyahuti suaranya itu, karena kufikir dia tanpa sengaja telah mengisi lagi sesuatu dalam diriku ini.

“Sudah baca surat kabar pagi ini?” tanya­ku.

“Bagaimana?” tanyanya, “Ada berita apa lagi?”

“Berita bunuh diri ”, kataku.

“Berita yang memuakkan sekali”, katanya, “Tapi saya ada membacanya. Kenapa anda tertarik dengan berita itu?”.

“Karena aku pernah bikin rencana untuk berbuat nekad demikian, pada waktu hati nu­raniku sendiri tiada menyahuti setiap soal yang kutanyakan selalu kepada hati. Itu setahun yang silam, madame. Aku sedang dicengkam takut meneruskan hidup, karena kuanggap hidup ini bagai mendaki menara Eiffel untuk kemudian jatuh lagi di tengah jalanan kota Paris, tapi tak mati, lalu naik lagi ke menara, jatuh lagi, naik lagi, jatuh lagi. Aku lantas merasa kebal ter­hadap penderitaan bathin. Dan aku pun terka­dang kebal pula atas kebahagiaan. Perasaan ke­bal ini sama dengan immunitet suatu penyakit. Hidup jadi tak berarti kecuali mengulangi lagi penderitaan dan kebahagiaan yang sama, hanya mengulang-ngulang belaka. Pada saat itulah aku hampir saja nekad”, kuakhiri kisahku ditelpon, kisah yang tak dibumbui dengan dusta agar si pendengarnya kagum.

Sewaktu pada suatu hari kupenuhi undang­annya, Madame Myriam menceritakan kepada­ku pengalamannya pula. Malam itu malam mu­sim panas. Kami duduk-duduk diluar. Kami menunggu datangnya bulan sabit, bulan yang selama ini menghilang dimusim semi.

Madame Myriam memegang sebuah kipas di tangannya. Angin berhembus sejuk, terka­dang keras dan biasa, membuat rambut coklat jingga perempuan ini bergerai-gerai dan terka­dang menerpa-nerpa telingaku. Aku menjulur­kan kaki pada terali terrace.

“Tahukah apa yang ditakuti Andre Gide?”, tanya Madame Myriam.

“Pengarang roman itu pernah takut meli­hat matahari terbenam. Aku pernah membaca­nya dalam sebuah romannya”, kataku.

“Benar. Dan aku pernah menitikkan air­mata selama sebulan, pada musim panas tahun lalu, jika melihat matahari terbenam, seakan­-akan menimpa kota kecil nenek moyangku. Uang berlimpah, kekayaan cukup, hari depan eko­nomiku.baik sekali. Kenapa aku harus menangis. Tiap orang bisa menemukan kesenangan dengan uang dan kekayaan. Kenapa aku harus menangis dalam bungkus kesenangan materi’? Ternyata bukan itu yang paling menyedihkan. Diriku ini merasa seperti sebuah pelabuhan. Aku me­nunggu suara sirene sebuah kapal. Dan bila ka­pal itu singgah, singgahnya hanya sehari saja. Lalu kapal itu pergi lagi. Dan tahukah kau iba­rat yang kumaksud dengan kapal itu?” tanya­nya.

“Suamimu?” tanyaku.

“Benar. Gabriel. Aku tak lebih dari harga seorang gundik. Dan pada saat ini, mungkin Gabriel sedang dinner dengan seorang bintang film”.

“Dan kau cemburu?”, tanyaku.

“Cemburu hanya punya gadis remaja. Buatku lebih dari cemburu. Karena kuanggap dia telah memberi racun kesenangan tak berarti, membunuh diam-diam. Ini pernah membuatku histeris”, katanya dengan nafas sesak dan memandangku dengan mata tak berisi, bersenyum:

“Tahukah kau bahwa pernah dulu aku kepingin membunuh suamiku sendiri?”

Perempuan itu senyum sejenak padaku Se­telah berkata begitu, tetapi rupanya dia melihat­ku tak mempercayainya, lalu berkata: “Tidak­kah kau yakin bahwa aku pernah kepingin mem­bunuh Gabriel suamiku sendiri. Itulah puncak jemu. Dan karena menggagalkan niat itu, aku sendiri hampir menghabisi hidupku dengan ra­cun”.

“Tolol sekali bila itu kau lakukan, Ma­dame”, kataku.

“Memang tolol sekali. Tolol karena gagal untuk suatu keberanian membunuh Gabriel. Tolol juga karena gagal untuk suatu keberanian minum pil tidur. Tetapi lebih tolol lagi mem­biarkan kejemuan ini semakin merasuk”, dia mulai mengeluh.

Episode 31
Perempuan Paris


Kucoba membayangkan siapa Gabriel, suaminya yang membikinnya sampai di puncak jemu. Kalau kuingat Loraine, dan, kulihat Ma­dame Myriam ini tiada keberatan Loraine mau punya teman hidup seorang penyair tua, dan juga kuperbandingkan dengan prosentasi gadis-­gadis di tahun ini yang lebih suka kawin dengan orang-orang tua, maka kukira suami Madame yang masih muda ini pun tentunya seorang lelaki tua, lesu dan tak bisa membikin gembira wanita ini! Apalagi jika diingat suaminya seorang pe­dagang, tak mungkin ada pedagang muda di suatu negeri Barat, karena untuk menjadi millio­naire dalam sekejap waktu tak mungkin terjadi di sini, kecuali para millionaire di tanah airku yang justru mendapat julukan usahawan seperti seorang menang lotre, dan julukan milyardir amat gampang sekali didapatkan bila seseorang bisa menyunglap dan menjilat. Tetapi suami Madame Myriam Debussy tak mungkin orang muda! Pada waktu seseorang menjadi kaya di waktu tua, orang akan segera memungut keba­hagiaan yang tak pernah dikecapnya semasa se­mua muda dahulu. Dan kuduga, dinner dengan bintang film Hollywood ini pun termasuk dalam dugaanku tadi.

“Apakah kau bersedia bermalam disini?” tanyanya kemudian.

“Sekiranya anda tak keberatan”, sahutku.

“Itu jujur. Aku benci kepada lelaki yang berpura-pura atau merasa rendah diri, atau ang­kuh”. katanya.

Ditatapnya mataku tajam-tajam. Kalau tadi yang kulihat seluruh biji mata biru itu kosong, kini kulihat biji mata itu berbinar-binar. Wajah­nya seketika pucat seketika cerah lagi bila me­mandangku. Dan kemudian dia membuang muka cepat-cepat, katanya “Aku takut me­lihat matamu!”

“Ha?”

“Matamu juga memancarkan kejemuan. Melihat matamu seakan aku melihat mataku sendiri!”, dan kedua tangannya ditekannya pada pagar terrace, tak mau dia memandang kearahku lagi.

“Marilah berterus terang”, katanya, “Apa­kah kau telah benar-benar punya isteri dan tiga anak?”

“Aku tak berdusta”, sahutku pelahan.

“Kenapa kau menetap disini, meninggalkan isteri dan anakmu, sedangkan kau bukan se­orang mahasiswa atau pegawai kedutaan, —diplomat. Dari Loraine aku mendengar, kau akan menetap dikota ini sampai tua. Apa itu betul?”. Aku tak menjawab. Aku membungkam mulut saja. Sukar buatku untuk menjawabnya.

“Dengan demikian engkau juga menyiksa dirimu sendiri!” serunya kemudian.

Untuk kesekian kalinya, dari perempuan ini aku mendapatkan sesuatu yang pasti tentang diriku! Benar! Memang benar aku telah menyik­sa diriku sendiri selama empat tahun ini. Tetapi aku sampai saat ini tidak akan takluk kepada penderitaan. Biarpun hati ini telah mutung Se­menjak berangkat dari tanah air, kubiarkan ke­bekuan itu berlarut-larut seperti seorang mempermainkan tali layang-layang.

Hatiku tiba-tiba meronta. Aku tak mau mengulur waktu lagi. Aku segera menghela le­ngan Madame Myriam sehingga dia terkejut.

“Kenapa kau?”

“Jangan tanya”, bisikku.

Kubenamkan kepala perempuan ini keda­lam dadaku. Kuciumi rambutnya yang coklat­jingga itu.

 “Ating, Ating”, rintihnya.

Dia menggelepar dalam pelukanku. Pela­han nafasku menjalari leher dari sebalik bela­kang kupingnya. Dia menggelinjang, bibirnya terbuka. Entah apa suara yang menggeletar dari bibirnya itu. Kukunci suara bibirnya seketika itu juga, sehingga dia meronta-ronta, mengamuk bagaikan kuda liar dan menyeretku ke dalam.

Aku pun mengejarnya, menangkapnya pada pintu kamar, dan kusandarkan bahunya pada pintu, pintu terhempas seketika, sedangkan nafas perempuan ini menggebu-gebu bagai om­bak terhempas. Rambutku kusut direnggutnya dengan kedua belah telapak tangannya. Ram­butku diremas-remasnya, dan matanya berbinar bergerak-gerak liar.

Aku tendang pintu kamar itu hingga ter­buka. Dan kemudian dia juga menendang pintu itu kembali hingga tertutup kemudian mengun­cinya dengan begitu tergesa. Diraihnya leherku, dilemparkannya bantal ke bawah tempat tidur. Aku terseret.

“Viens pres de mois ! Mendekatlah”, kata­nya sambil merenggutku.

“Myriam !” seruku ngeri.

“Jangan berdiri begitu, menyiksaku me­nunggu beberapa detik lagi!”

“Myriam!” suaraku makin perlahan.

Dielusnya dadaku.

“Myriam”, bisikku.

“Ating, cher seigneur ! J’ai soif, cher ami! i’ai soif”, bisiknya dengan menangis, dan ke­mudian suaranya lebih pelahan lagi: “Cher ami, deshabille-toi! J’aie la chaleur de ton corps, Ating!”

Dinding-dinding bergoyangan dalam pan­danganku. Dia habis-habisan melepas haus bagai kerongkong kering sedikit mau basah. Nafas­nya mendera telingaku, batas lengkingan ter­akhir bagaikan ikan terlempar ke pasir pantai menggelepar.

Ketakutan kepada sesuatu menyebabkan aku berfikir sambil mengeringkan keringatku dengan bedak, bahwa aku harus kembali lagi ke Paris sebelum terjadi sesuatu yang membahaya­kan diriku.

Episode 32
Perempuan Paris


“Janganlah kau pulang, cher ami, Ating, Ating. Sebentar lagi matahari akan ter­bit”, katanya.

Disisirnya rambutku dan dipujinya rambut­ku yang tebal yang melengket di kepalaku ini. Tetapi kepalaku penuh ketakutan.

Dan kemudian ketakutan itu pada hari dan malam, hari dan malam, hari dan malam-malam selanjutnya berangsur sirna! ini suatu kenyata­an! Dan aku berani menghadapi kenyataan.

Empat tahun lamanya aku menderita, melawan kenyataan dan berpura-pura dalam segala hal. Empat tahun lamanya aku menindas nafsu. Dan aku memenangkannye selalu. Dan bila hari-hari terakhir menjelang musim panas ini aku telah menyerah, seolah semua tiada kuhiraukan. Bah­kan aku lebih bertanggungjawab lagi.

“Aku akan mengawinimu”, kataku kepada Myriam.

Myriam rupanya kaget mendengar tantang­anku.

“Aku seperti bermimpi mendengarnya!” seru Myriam.

“Aku orang timur. Aku tak. perduli kau menganggap ajakan itu sebagai sikap seekor ba­dak primitif. Aku mencintaimu, tetapi juga men­cintai tradisi timurku. Bahwa percintaan akhir­nya memerlukan ikatan perkawinan”, kataku.

“Tetapi Gabriel belum lagi kembali”, kata Myriam.

“Kau harus jujur mulai sekarang. Kau tulis surat kepadanya. Kalau tak tahu di mana alamat­nya yang terakhir, kau cari di kantornya. Aku teringat kepada peringatanmu bahwa kita tak boleh mengejami diri kita sendiri, kita tak boleh menyiksa diri kita sendiri, kita tak boleh me­nyiksa diri kita sendiri. Dengan begini terus itu berarti kita membiarkan diri kita diburu oleh bayangan”.

‘Bayangan Gabriel?” potong Myriam.

“Ya, bayangan Gabriel. Yang menghantui kita sehabis mereguk anggur kemesraan”, kata­ku.

Keringatku menetes dan berjatuhan pada bahu perempuan itu.

“Jangan tunggu lebih lama. Nanti keadaan terlambat, Gabriel adalah manusia yang sama seperti kita. Biarpun kepalanya tetap membatu tetapi hatinya akan pecah bila mendapatkan aku hadir dalam dirimu, hadir di tempat ini dalam keadaan melebihi batas”.

“Cher siegneur! mon Ating! Buatku Gabriel lama sudah mati”, desahnya, mengemasi ram­butnya yang kusut. Jendela yang kubiarkan ter­buka semenjak aku datang kesekian kalinya in menyebabkan angin bukit berhembus, dan keringatku kering sendiri.

“Bagiku Gabriel sudah lama kukuburkan, Ating! “, katanya.

“Jangan lagi kita bertolak dari mimpi. Kita kini dalam fenomena hidup yang sebenarnya. Kita telah menemukan kenyataan. Kita hadir kembali ke kehidupan yang nyata, maka ku­minta supaya kau buang mimpi-mimpi masa lampau. Dan kita kawin! Tulis surat itu seka­rang juga, besok aku poskan”.

Myriam diam lama, kemudian memakai baju, berhias kembali di depan kaca.

“Kau terikat pada perasaan berdosa?”, tanya Myriam memandangku lewat bayangan­ku dikaca.

“Ya”, kataku, “Dosa pun telah jadi tradisi hidup. Maka berdosa menjadi jaminan buatku untuk menebusnya sekarang juga, memikul ke­nyataan ini secara bertanggungjawab, lahir dan bathin. Tahu kau perkataan lahir dan bathin itu, kekasih? Tahu kau, bahwa kehidupan ini bukan lahir belaka, dan juga bukan bathin be­laka? Dua-dua harus isi-mengisi. Apakah kau takut kukawini, karena aku ini lelaki dari tanah asing?”, tanyaku mendesak.

Lama Myriam terdiam. Aku menduga dia sangsi terhadap kata-kataku yang mengalir de­ngan bersungguh-sungguh. Melihat Myriam membisu, aku tak bisa menahan perasaan lagi, sehingga aku marah dan berteriak:

“Myriam ! Kau hanya membutuhkan aku sebagai jasad lahir sajakah atau bagaimana ?”

Suara bergema dalam kamarnya itu.

Dia melompati tubuhku dari tempat tidur, memeluk seluruh diriku seerat-eratnya, dan menangis terisak-isak.

“Ating, kekasih! Aku mencintaimu, aku mencintaimu, pcrcayalah. Aku tak bisa hidup layak tanpa adanya engkau bersamaku!”

Kugoncang bahunya kuat-kuat sehingga rambutnya bergerai-gerai.

“Jangan ngimpi lagi, Myriam! Cinta saja tidak cukup. Kita harus mengisinya, lahir dan bathin, dengan perkawinan! Kita bukan anjing-­anjing yang haus di tengah gurun Aljazair, My­riamku”, dan kupeluk dia dan aku menangis sepenuh hati hiba.

Kemudian kami sama terdiam, dan sama terduduk di tepi ranjang.

Dia menoleh kepadaku. Matanya yang dulu sunyi pada saat itu tampak sunyi kembali.

“Bagaimana isterimu?” tanya Myriam

“Aku tak pernah mencintainya. Aku kawin dengan dia dulu hanya karena kebutuhan lahir saja. Diapun demikian. Dan aku berusaha akan melupakannya”, kataku.

“Tetapi kau tak bisa melupakan anak-­anakmu sekalipun engkau bisa melupakan isteri­mu Sutijah. Lebih baik kita terima kehidupan begini terus-terusan, sekalipun kita menyiksa diri sendiri, sekalipun bayang-bayang-hitam mengejar kita dari belakang. Aku tambah me­yakini, bahwa dunia ini sebenarnya neraka. Pertemuan manusia adalah neraka. Manusia akan saling bertemu lagi dan mengikat cinta yang kekal bila pintu sorga telah terbuka, bila kita semua sudah mati, bila dunia ini sudah bosan menontoni kelakuan manusia pada saat du­nia hancur oleh peperangan manusia dengan manusia, peperangan bathin antara manusia se­samanya, peperangan bathin dalam diri kita sen­diri seperti kita sekarang”, Myriam mengeluh panjang. Diraihnya diriku, bisiknya:

“Dengar, kekasihku. Lama-kelamaan ke­mesraan begini nantinya juga menjemukanmu. Pada saat itu kita sama maklumi, bahwa apa yang hari ini kita kira cinta, nyatanya hanya pertemuan biasa, seperti pertemuan kau dan aku pertama kali di desa Vemon, seperti pertemuan dua manusia di bioskop, di restaurant, di depan kantor catatan perkawinan dan gereja, dan juga mungkin sama buruknya sama seperti pertemuan pelacur dengan lelaki di sayangnya. Akhirnya, jika kita muak dan jemu, kita akan mentertawa­kan diri kita sendiri!”

Episode 33
Perempuan Paris


“Kau jangan rendahkan keagungan kenya­taaan ini! Buatku kau bukan gundik, kau bukan lacur, melainkan seorang manusia yang mengisi kehidupanku yang penuh ilusi selama empat tahun menjadi kehidupan nyata, penuh dan sejati. Aku takkan malu-malu mengakui dosa­ku kepada siapa saja pada saat ini. Aku rela dihukum oleh siapapun juga karena kenyataan ini

“Tetapi tahu kau, kekasih sayang, bahwa kita saat ini telah terhukum, dan saat ini kita sedang menjalani hukuman itu?”, tanya My­riam.

Berhari-hari lamanya aku memikirkan ucapan Myriam. Biarpun Henri masih sering datang ke hotelku, namun tidak sedikitpun aku meminta bantuan moril daripadanya. Karena aku sadar, bahwa pada akhirnya manusia itu berdialog dengan dirinya sendiri. Pada akhirnya setiap ke­putusan cenderung subyektif. Aku tidak mau di­perbudak oleh kenyataan hidup ini sebagai ma­nusia balon. Aku semakin percaya, bahwa ma­nusia harus menjadi subyek atas dirinya sendiri dan mempunyai mahkota atas setiap keputusan yang akan diambilnya. Namun demikian, dalam telingaku ini masih terngiang-ngiang ucapan Myriam yang makin hari makin kukasihi, makin mengisi kekosongan hidup jemu dan gelisah ini. Sewaktu aku berkata itu, kami telah terhukum dan sedang menjalani hukuman itu. Dan bila aku membenarkan ucapan Myriam, aku dan dia sendiri pulalah yang telah membuat penjara dalam hati kami masing-masing, penjara tanpa belenggu dan kunci gembok tetapi penjara paling mengikat dari segala undang-undang diluar diri kami berdua.

Sadar akan dosa adalah lebih baik daripada tidak menyadarinya sama sekali atau lebih buruk lagi apabila membuat ilusi untuk mengatakan dosa itu tidak ada sama sekali. Dosa selalu ada pada diri manusia, dan pada hakekatnya dosa itu adalah tanggung jawab paling jujur dari seorang manusia terhadap dirinya sendiri. Kutilpon My­riam.

“Bagaimana? Sudah kau pertimbangkan untuk membuat keputusan agar kita terjuni hidup ini tanpa dikejar bayangan lagi?”tanya­ku.

“Kau lupa, sayangku, bahwa kau pagi ini akan menjemputku untuk berbelanja awal mu­sim panas di centre commercial ?”

Baru aku ingat akan janji itu, bahwa pada hari ini kami tidak lagi akan membicarakan sesuatu dirumahnya, melainkan kami akan menghirup matahari baru musim panas ber­keliling kota Paris. Kujemput Myriam. Alang­kah cantiknya dia pada pagi ceria itu ! Mulanya aku menawarkan kepadanya agar aku membawa Mercedes-Benz. Tetapi dia berkata “Lebih baik Simca, lebih mesra, kecil dan sempit”. Dan dia kemudian menerangkan bahwa mobil­nya dipinjam oleh kemenakannya Loraine yang akan menghirup seluruh musim panas dipantai Sables d‘Ologne, kepingin bermesra dibawah tiupan angin Lautan Atlantik. “Kita juga nanti akan berlibur kesana”, kata Myriam menye­nangkan hatiku.

Mulanya mobil kubawa perlahan sepanjang Champs-Elisees. Ditepi kami sungai Seine pada jam lima pagi yang terang itu bagai bangun dari tidurnya. Matahari terbitnya cepat sekali. Jalan raya musim panas penuh oleh manusia yang ingin mandi matahari. Mobilku terus meluncur membelakangi matahari ke tenggara, melalui St. Germain-l’Auxerrois, lalu berbelok ke kanan menyeberangi sungai memasuki daerah St. Ger­main des Pres. St. Thomas d’Aquin, dan My­riam berteriak-teriak kena mandi sinar mata­hari yang menyilaukan di atas kompleks sekolah militer l’Ecole-Mitrtaire di sebelah kanan kami  untuk kemudian terdampar di sebelah barat kota international ini setelah puas berke­liling berbelanja. Hari mulai dekat jam tiga, matahari sedang garang-garangnya menyoroti kami yang berbaring di atas rumput di sebuah taman di St. Ambroise. Tetapi kemudian kami berkeliling lagi dan berbelanja lagi di rue de Ia Paix. Myriam membelikan beberapa potong ke­meja musim panas, setengah losin di antara­nya kemeja bolong-bolong berbunga~bunga. Dia juga membelikan untukku beberapa buah celana pendek, dan dia tetap memaksaku untuk menerimanya sekalipun kukatakan aku malu bercelana  pendek karena bulu kakiku terlalu tebal semacam gorilla.

“Kutraktir kau, kekasih, direstoran ter­masyhur”, katanya kemudian.

‘Dimana?” tanyaku.

“Di restoran Tour d’Argent”, katanya.

“Aku belum pernah ke sana”, kataku.

“Denganku kau akan kesana, sayangku”, kata Myriam.

Restoran ini sungguh sebuah restoran ter­mahal di seluruh kota Paris! Restoran menara ini  membikin aku lebih dahulu bersalin pakaian di kamar salin untuk naik ke puncak restoran ini. Ketika kami memasuki ruangan tertinggi ini, beberapa orang telah duduk. Kami memilih dekat jendela.

Dari sini kelihatanlah sungai Seine mem­bentang dibawah. Mataku memandang kota lama, tie de la Cite. Di jauhan bermandi mata­hari Cathedral Notre-Dame.

“Tahu kau bila katedral itu dibangun, ke­kasih?” tanya Myriam.

“Engkau guru sejarahku sekarang”, kata­ku.

“Gereja tua itu dibangun di abad kedua ­belas, tahun 1163”, katanya.

Kucoba merenungi kota ini dalam sekilas pandangan. Kota ini masih akan dibangun lagi. Daerah Montparnasse akan dibangun lebih mo­dern lagi. Bukan percuma Jenderal De Gaulle memilih seorang menteri kebudayaan seorang seniman tulen seperti Andre Malraux itu, fikir­ku ! Begitu luas mata memandangi kota yang bermandi sinar matahari, namun hatiku masih bersisa kabut musim semi, jejak kehidupan nya­ta pada hari-hari lalu yang kini diterangi oleh cahaya.

“Musim bertukar, tetapi kita masih meng­ulang-ulang waktu”, kataku.

“Bila kuterima lamaranmu, seorang pe­rempuan di tanah airmu memasuki gerbang ne­raka bathin lagi”, katanya.

“Tak ada yang saling membikin sorga. Membuat neraka, membuat kehancuran ber­sama-sama pula. Tetapi begini terus-terusan sama membiarkan diri hanyut seperti kita laku­1kan sekarang, lebih berbahaya”, kataku.

“Tadi malam telah kutulis surat kepada Gabriel. Aku minta ia menceraikanku. Tetapi pagi tadi kurobek lagi seperti kemarinnya juga”.

“Kau tentu masih mencintai Gabriel”, ka­taku.



Episode 34
Perempuan Paris


“Kurobek surat itu karena terbayang oleh­ku seoraug perempuan dan anak tiga”, kata­nya. Dibelainya bahuku mesra dan dia berbisik padaku bahwa aku telah membahagiakannya sejuta kali lebih hangat daripada limpahan uang dari Gabriel. Dibisikinya pula bahwa dia kepingin anak. Gabriel lelaki impotent. Namun aku heran mengapa Gabriel sampai bisa meng­gandeng bintang film. Kukira mungkin itu di­buatnya sekedar untuk show kepada umum. Kupandangi lagi perempuan ini. Jari-jari kami saling bercumbu, duapuluh jari bercumbu diatas meja restoran mahal ini! Tapi ini pula yang menyebabkan kami kepingin lekas pulang ke rumah        

Betapa terkejutnya aku! Sewaktu mobil memasuki pekarangan rumah Myriam, aku me­lihat seorang lelaki berdiri memegang sebuah tongkat emas pada permulaan kegelapan malam. Myriam yang tidur dan meletakkan kepala di bahuku, kucubit agar bangun.

“Sudah sampai?” tanya Myriam masih separuh tidur.

“Lihat. Siapa itu. Apakah itu Gabriel!” bisikku.

Myriam terkejut sekali. Aku juga sangat terkejut sekali.

“Kita celaka, kekasihku”, ranyuk Myriam padaku. Diremasnya tanganku. Mesin Simca belum lagi kumatikan sekalipun mobil telah berhenti di depan garage. Mobil tak bisa dima­sukkan ke garage karena ada Matra Sports da­lam garage.

Mataku tenang menatap Gabriel. Dia me­mutar-mutar tongkat emasnya sambil berdiri di depan mobil Matra Sportsnya itu, bercelana pendek merah, tanpa melihat pada kami sedikit­pun.

Ternyata Gabriel bukan seorang tua se­perti yang kuperkirakan. Gabriel masih sangat muda bila kubanding dengan umurku. Kukira pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam ta­hun.

“Kita celaka, kekasih”, bisik Myriam lagi.

Namun aku tenang. Keadaan yang begini sudah kuduga sejak mula. Kubuka pintu, lalu aku keluar. Aku mengangguk kepadanya, se­kalipun Ia tak acuh sehingga aku melewati­nya dan membuka pintu bagi Myriam. Myriam mulai menangis. Myriam belum lagi dapat keluar dari tempat duduk. Dia sangat bimbang sekali. Tangisnya semakin kuat. Lalu kuulurkan te­lapak tanganku. Kubantu Myriam keluar. My­riam menggigil lututnya untuk berdiri.

“Gabriel”, suara Myriam luluh-lantak.

Lelaki muda itu menoleh kepadaku, baru kemudian kepada Myriam. Ia masih memutar-­mutar tongkat emasnya sewaktu melangkah ke arah Myriam. Sudah kuduga apa yang akan terjadi, setidak-tidaknya tongkat itu akan men­darat ke kepala Myriam. Ketika tongkat itu di­ayunkannya, segera aku melompat melindungi Myriam, dan punggungku serasa jadi bengkak oleh pukulan tongkat emas itu.

Sunyi mengosongi kami bertiga seketika. Tongkat itu tidak lagi disabetkannya, se­kalipun yang pertama dan terakhir tadi kini mulai menjadikan punggungku begini pedih. Dan aku membalikkan tubuhku.

Kuberanikan seluruh kekuatan dalam diri­ku untuk menatap wajah Gabriel. Gabriel berdiri dengan mata menatap tajam kepadaku. Aku tidak sudi menunggu ia yang akan berbicara duluan makanya aku mendahului. Kataku ter­amat tenang:

“Saya dan Myriam segera akan kawin”. Gabriel terdiam. Sempat aku membanding­kan wajahnya yang mirip wajah bintang film Paul Belmondo. Dan kutemui dalam wajah yang angkuh itu satu kekosongan ketika itu; setelah ia mendengarkan suaraku tadi. Dari pada keko­songan pandangan matanya itu, aku seakan-­akan melihat diriku pernah sedemikian itu, se­waktu aku di rumah menunggu Tomo anakku yang masih bayi di dalam box, isteriku Sutijah pulang dengan seorang yang tidak kukenal sama sekali! Mata Gabriel kehilangan harga, mataku pun sedemikian pula enam tahun yang lalu, yakni dua tahun sebelum aku ke Nederland dulu ! O, sungguh! kulihat diriku berdiri disitu, berdiri dalam diri pemuda Gabriel!

Dalam sekejap mata saja seakan hadir di depanku keadaan diriku sendiri, seorang suami yang mengurusi anak sehabis pulang dari kantor demobilisan, kudengar kembali teriakan-teriak­an Sutijah menghalangiku untuk mengambil pistol di lemari yang kuterjang untuk membunuh lelaki itu, bukan karena cemburu, tetapi karena harga diriku serasa tiada lagi.

“Gajimu tidak cukup buat setengah bulan! Aku berhenti dari fakultas kedokteran gigi gara-gara kau meminta kawin cepat-cepat! Kau selalu melagakkan masa lampau sebagai pe­juang, tetapi hari ini yang diperlukan bukan pejuang melainkan pejuang uang!” — O, kata-­kata itu bergema sekejap mata sewaktu aku menghadapi Gabriel. Dan kata-kata Sutijah masih juga bergema lagi dan bergema lagi dan bergema lagi:

“Kau melagak bahwa kau ganteng. Sekali­pun aku tidak cantik, tapi jika aku kau ceraikan aku masih sanggup untuk meneruskan kuliah, setidak-tidaknya menamatkan dan mendapatkan titel, dan setidak-tidaknya aku ini masih laku untuk mendapatkan suami dokter, bukan se­perti kau, membawa kertas-kertas stensil untuk dilowakkan, kertas curian dari kantor yang jika dijadikan duit cuma habis dalam dua hari saja!”, O, o, bergema memekakkan telinga kata-­kata itu, berobah seratus delapan puluh derajat dan kesediaannya dulu sewaktu kami masih berpacaran, bahwa Sutijah mau sehidup semati semelarat-sekelaparan bila telah kuperisteri. “Kau hanya bisa membikin anak, memberinya makan tidak bisa”, kata Sutijah lagi. Dua tahun lamanya aku tidak punya daya untuk membela diri karena akupun tidak bisa membuat tahun­-tahun surut kembali, karena percuma aku men­dendam terhadap peperangan yang telah mem­bikin syarafku lemah menghadapi pelajaran setelah selesai perang akibat ledakan mesiu, darah dan mayat yang kulangkahi, teman-teman yang gugur, ayah dan ibu dan kakak perempuan yang mati ditembak dan adik yang hilang, — semua ini percuma kulontarkan kembali pada isteriku Sutijah, karena baginya di masa damai adalah pejuang uang yang lebih dihargai ! Dua tahun lamanya aku membiarkan keringatku mengalir dingin mendengarkan suara isteriku, karena aku tiada berhak bersuara apa-apa lagi, sebab dia benar, seluruhnya dia benar karena kenyataannya aku memang punya gaji cukup untuk setengah bulan saja sedangkan mencuri kertas terkadang merasa malu kepada teman sekantor. Dua tahun itu bagai berputar cepat dan bergema kembali dalam otakku saat aku memandangi Gabriel, suami Myriam yang tidak memegang pistol melainkan tongkat emas, yang itupun, tidak diayunkannya lagi untuk dipukul­kannya ke kepalaku. Gabriel kehilangan harga seperti aku pernah merasa kehilangan harga.

“Kuharap tuan tidak akan terlalu fantastis melihat kenyataan ini monsieur Gabriel”, kata­ku lunak. Kudorong Myriam agar dia kuat me­langkah menuju rumahnya sendiri.

Episode 35
Perempuan Paris


“Marilah kita sama-sama masuk”, kata Gabriel biasa, ucapan sederhana yang mengejut­kanku, yang bagiku lebih kuat dari pukulan, sewaktu ia mempersilahkanku masuk. Myriam menoleh. Matanya memberi isyarat agar aku tidak ikut masuk. Mata Myriam kedua kalinya memperingatkan agar aku berhenti melangkah dan menolak tawaran Gabriel. Dalam mata yang berkata-kata dan mencegah dengan isyarat tanpa gerak itu, namun kakiku melangkah jua, melangkah lebih dulu, melangkah di belakang Myriam yang melihatku lagi penuh kecemasan akan apa yang bakal terjadi bila aku masuk.

Namun aku masuk juga.

Tidak seperti yang aku duga, dan mungkin juga tidak seperti yang tak diduga Myriam, akhirnya kami bertiga bisa duduk bersama-sama di ruang tamu. Gabriel bahkan membuka jen­dela, semua jendela, sambil berkata:

“Hawa permulaan musim panas yang harus kita terima malam ini. Anda tidak keberatan angin masuk di ruang tamu ini”, tanyanya kemudian yang ditujukan kepadaku.

“Tidak keberatan”, sahutku gugup dan ganjil.

“Myriam”, seru Gabriel kepada Myriam, “Aku menduga kalian berdua telah makan ma­lam. Tetapi minuman perlu”.

Myriam gugup sejenak. Pandangannya me­ngilas kepadaku tapi pandangannya masih se­perti tadi: — Ating, pergilah kau cepat-cepat sebelum sesuatu terjadi.

Ketika Myriam pergi mengambil minuman itu, Gabriel mulai memandang kepadaku dengan pandangan serious. Katanya:

‘Tuan berkata bahwa tuan akan kawin dengan Myriam, tadi?”

“Rencana yang bagus”, katanya.

“Tapi yang terpenting aku telah menyata­kannya dengan jujur pada tuan, monsieur Ga­briel. Ada baiknya saya minta ma’af atas sifat terus terang ucapanku tadi”, kataku.

“Itu lebih baik”, kata Gabriel pelahan. Tetapi kemudian Gabriel berteriak sambil men­cungukkan kepala kearah ruang minuman

“He, Myriam! berapa tahun kau dan saya ka­win?”

Terdengar sahutan perlahan dari ruang minuman, dimana Myriam rupanya belum be­rani keluar jua. Sahut Myriam antara jelas dan tiada:

“Enam tahun”.

Kemudian Gabriel berteriak lagi bertanya:

“Apakah selama enam tahun itu engkau ba­hagia denganku, Myriam?”

Myriam tak menjawab. Kali ini kudengar langkah-langkah kaki Myriam menuju beranda membawa tatingan minuman. Sebelum kaleng­-kaleng minuman itu ditaruhnya di meja, selirik kilas pandangan tertuju kepadaku, tapi pan­dangan Myriam teramat pasti, kemudian My­riam menoleh pada Gabriel setelah meletakkan kaleng-kaleng, tiga gelas dan sebuah thermos.

“Aku tak bahagia”, berkata Myriam.

“Une ambition demesuree!”, kata Gabriel sambil tertawa keras-keras menyatakan pepatah yang kuartikan: kegairahan tanpa batas.

Mendengar ucapan sambil mengakak itu, Myriam tidak sedikitpun mengerdipkan mata­nya, malahan duduk dengan perasaan yang di­perkuatnya, mengatur nafasnya, dan kemudian menuangkan potongan-potongan es. Kutolong Myriam membuka kaleng minuman. Jus de tomate cairan tomat merah kutuang bagi gelas Gabriel, gelas Myriam dan gelasku. Bahkan Myriam lebih dahulu mengangkat gelasnya. Kedua telapak tangannya memegang gelas itu.

Gelas itu seakan-akan diremas-remas oleh telapak Myriam.

Jus de tomate berwarna darah itu, dengan potongan es itu, belum juga diminumnya. Ke­mudian mata Myriam menatap mataku. Kemu­dian dengan pasti pula Myriam menatap mata Gabriel. Katanya perlahan, sepatah kata demi sepatah kata “Malam ini aku meninggalkan­mu, Gabriel. Enam tahun kita berperang, selan­jutnya antara kita kuharap tercipta une paix durable, sebuah perdamaian yang lama, karena aku menerima lamaran monsieur Ating, lelaki ini. Kenyataan telah terjadi. Tak seorang pun manusia bisa luput dari peristiwa hidup”.

Hanya itu yang diucapkan oleh Myriam.

Sesudah itu hening membungkam seisi beranda.

Aku bungkam. Gabriel lebih bungkam lagi.

Dan Myriam tetap membisu.

Kebisuan itu malahan berbicara dalam hatiku. Mata Gabriel kulihat tidak tenang dalam kebisuannya itu. Aku menduga ada sesuatu yang sedang direncanakannya. Sekali-sekali matanya mencuri ke arah pojok beranda ini. Dan yang di­tujukannya hanya ke pojok itu, ke buffet ber­ukir itu, buffet yang berhiaskan patung perung­gu menara Eiffel setinggi sedepa.

Tanpa kuduga, Gabriel berkata dengan sua­ra sember: “Aku barusan saja kembali dari Hollywood. Sungguh aneh film-film sekarang. Aku melihat bagaimana mereka membuat film. Suatu pembunuhan berdarah dingin. Kepala bandit duduk di sebuah ruangan yang berisi pe­rempuan telanjang. Bagai suatu kerajaan di masa raja Philip Agustinus kejadian di ruangan itu. Bell kematian ditekan oleh kepala bandit itu, dan kita melihat beberapa pembunuh sewaan di setiap pojok kota dengan senapan-senapan, bahkan pula orang memegang pedang di zaman modern ini. Dan pembunuh sewaan ini semua gagal mencari mangsanya. Kukira itu sebuah film buruk. Kaalu aku seorang producer, akan kumasukkan adegan sebuah mobil Mercedes-Benz bercorong asap model kuno yang mena­brak sasaran para pembunuh”.



Episode 36
Perempuan Paris


Aku ingin menyambut ceritanya itu, tetapi Gabriel dengan lincah berdiri dan berjalan cepat menuju buffet yang sejak dari tadi jadi inceran matanya. Myriam cepat-cepat menyentak kaki­ku dengan kakinya. Kudengar Gabriel membuka laci buffet dengan kasar. Lalu ia ketawa terbahak sebentar, dan menarok sebuah peti yang diambilnya. Itu adalah sebuah peti radio-pickup. Peti itu dibukanya. Lalu dibolak-baliknya Se­buah piringan hitam, dan kemudian, kemudian sekali, piringan hitam itu memancarkan sebuah lagu klassik symphoni, ciptaan Wagner. Tetapi kemudian irama-irama kasar ciptaan Wagner itu agaknya tak disukai Gabriel. Gabriel mencari piringan hitam lainnya, dan kemudian berseru:

“Ini dia! Film kejam itu bila aku yang mempro­duksinya akan kuiringi dengan musik irama waltz ini”.

Myriam menoleh kepadaku kemudian me­nundukkan kepala.

Myriam kemudian mengangkat kepalanya lagi, menoleh kepadaku. Lalu dia berdiri, dan berkata kepadaku: “Aku akan menyiapkan ke­berangkatan. Tolonglah aku sebentar, Ating”.

“He Myriam!” seru Gabriel meninggalkan radio pickup yang masih mengiramakan lagu waltz, “Aku berhak juga menolongmu untuk yang penghabisan kali. Biarlah monsieur itu menunggu diluar”.

“Tidak”, sentak Myriam menolak pegang­an Gabriel.

“Kenapa kau? Berapa dalamnya hatimu kulukai maka kau membenci?”

“Aku kenal watakmu! Kau berkata akan menolongku memasukkan pakaian di kamar, tetapi aku tahu benar bahwa di kamar nanti kau akan mencekikku!”

Myriam belum puas: “Kau akan membu­nuhku! Kau takkan puas enam tahun menyiksa diriku. Puncak kepuasanmu adalah membunuh­ku! Membunuhku ! Ingatkah kau waktu kita di Zulu kau mau mencekikku, mau membunuh­.”  Aku terkejut. Aku tersiksa oleh pertengkar­an yang kusaksikan. Namun aku lebih terkejut lagi melihat Gabriel berlutut di depan Myriam dan tersedu pelan-pelan.

Ada waktunya manusia harus menelan

Setiap manusia akan mengalaminya, kelihatan atau tidak, tertutup atau terbuka. Bahkan mereka yang hidup senang yang tertawa meriah mungkin memalsukan kepahitan itu dengan sorak-sorai ketawanya. Tetapi aku hanya diam berdiri sebagai saksi atas tangisan pahit Gabriel: Sedikitpun aku tiada berprasang­ka kepada pemuda gagah ini, yang menangis akan ditinggalkan isterinya, karena hati nurani­ku yang selalu kupercaya meyakinkan jiwaku untuk menerima isak-tangis Gabriel sebagai ke­sedihan paling jujur.

Angin yang meniup lewat jendela terbuka itu bagai membikin hatiku akan bimbang atas kesaksian ini. Tetapi seseorang harus lebih keras dari kerasnya kenyataan itu sendiri. Kutumbangkan kebimbangan dan segala sentimen yang menyerang diriku dibawa angin ke jendela ini sentimen yang harus tak kupunyai lagi dalam usia begini! Kutumbangkan perasaan hiba melihat Gabriel menangis. Aku telah siap menerima tanggung jawab atas penderitaan Gabriel dan dalam kesanggupan menerima tanggung jawab itu aku pun tak ingin mencari segala sebab semua sebab makanya ini terjadi.

Aku berpendapat, semua sebab adalah soal-soal masa lalu, yang bukan dasarnya per­hitungan masa sekarang. Bila aku mencari-cari sebab lagi pada saat kini, aku pasti akan men­cuci-tangan atas semua tanggung jawab, aku pasti akan membohongi diriku lagi bahwa bukan akulah yang berdosa. Dan dalam membohongi diri bahwa aku ini bebas dari dosa dari sebab segala peristiwa ini; aku pun mencari dosa ke­pada dunia di sekitarku. Aku akan menunjuk seorang dua orang lainnya sebagai biang keladi­nya, aku akan menunjuk masyarakatku yang bersalah, aku akan menunjuk berbagai kejadian lainnya yang menyebabkan ini jadi terjadi se­karang, dan makin kucari segala biang keladi kejadian ini makin banyaklah yang akan kutu­ding sebagai manusia dari peristiwa yang menyebabkan kejadian yang berakibat begini. Lalu aku merasa jadi orang yang paling bersih dan suci. Padahal aku telah membohongi diriku sendiri. Karena itu, kubuang segala analisa tentang sebab semua ini karena semua sebab ada­lah soal-soal masa lalu. Dan yang kini kuhadapi adalah tanggung jawab yang harus kupikul. Sanggupkah aku memikulnya. Dalam kesediaan untuk sanggup memikul tanggung jawab atas akibat dari segala yang terjadi ini aku harus menekan dan menindas perasaanku seakan-­akan diriku ini tidak ada. Pada saat itulah aku berkata: “Gabriel, kami segera akan berang­kat.”%%%

Kubawa Myriam ke hotelku, sekalipun Myriam mendesak agar aku membawanya ke Vemon malam itu juga.

“Segalanya sudah selesai. Apa Iagi yang kau cemaskan?”, tanyaku.

“Aku takut bila masih berada di Paris”, kata Myriam.

“Takut kepada Gabriel?” tanyaku.

“Bukan kepada Gabriel. Aku takut ber­keinginan besok pagi membeli surat kabar dan membaca berita bahwa Gabriel telah bunuh diri. Gabriel punya bakat untuk bunuh diri. Dalam laci buffet tadi itu sebenarnya ada sebuah pistol: Tapi rupanya ia ragu, radio pick up yang di­ambilnya. Engkau harus kenal siapa Gabriel. Gabriel adalah anak angkat seorang tentara Nazi yang disembunyikan ibunya di Paris ini. Kabarnya tentara Nazi itu masih hidup dan me­nyamar dan orang itulah yang memberikan modal kepada Gabriel untuk menjadi kaya se­perti sekarang. Tahukah kau, bahwa Gabriel menceritakan hal ini kepadaku sendiri, bagai­mana ia begitu kaya. Setiap kota di Eropa dan lain-lain kota lainnya, ayah angkatnya mena­namkan modal di bank”.

“Baiklah”, kataku mengalah, “Kita ke Vemon malam ini juga. Tapi sesampainya di Vemon apakah kau menjamin bisa lupa kepada Gabriel, manusia yang enam tahun pernah sing­gah dalam hatimu, sekalipun kesinggahannya itu menimbulkan benci? Tahu kau, benci dan cinta sama-sama indahnya. Dan setiap yang indah sukar untuk dilupakan begitu saja. Te­tapi kau bisa melupakannya Myriam, berangsur-­angsur. Aku tak memaksamu agar kau melupa­kan Gabriel pada malam ini juga

Episode 37
Perempuan Paris


"Tapi hendaklah kau ingatkan agar aku tidak membaca surat kabar dalam seminggu ini", kata Myriam.

Untuk kepentingan Myriam semenjak pagi besoknya aku membeli semua suratkabar yang terbit di Paris untuk mengetahui apakah Gabriel bunuh diri. Tetapi kemudian dalam kolom berita ekonomi aku membaca disuatu pagi sebuah berita bahwa Gabriel membuka cabang di Israel. Sungguh ironi rasanya berita itu, karena ayah angkat Gabriel justru seorang tentara Nazi yang akan patuh kepada Hitler untuk memburu-buru setiap orang yang berdarah Israel. Berita suratkabar itu sengaja kutunjukkan pada Myriam. Myriam hampir tiada percaya dengan berita itu. "Puas?" tanyaku, dan Myriam mengangguk.

"Sekarang aku baru merasa dunia ini sudah menerima kehadiranku untuk melepaskan semua ilusi yang bukan-bukan. Selanjutnya aku dan juga kau akan berpijak pada bumi kenyataan", kata Myriam dengan suara yang getir.

"Sekarang", kata Myriam lagi kebanjiran emosi, "Seluruh harta warisan, seluruh apa saja yang kupunyai, seluruh diriku dan hidupku, kupasrahkan padamu, kekasih! Biarpun aku perempuan Paris dan engkau lelaki dari Asia, bukanlah cinta manusia adalah universil?"

"Tentu", kataku.

"Dan segala yang akan membikin engkau menderita, berterus-teranglah selalu kepadaku, sayang. Bagaimanapun engkau katakan kau jatuh cinta kepada Paris, tetapi kau tak bisa mengingkari bahwa kau punya tanah air. Kuminta kau setiap detik merasa kurang betah, kau bilang dengan terus-terang, agar segala apa yang kurang, bisa kita tutupi bersama. Soal materi jangan kau fikirkan lagi. Dan engkaupun tak boleh menganggapku sebagai perempuan bangsawan lagi. Aku kini telah jadi isterimu. Kita jauhi sifat pura-pura dan palsu sejauh-jauhnya!"

Dan memang, kami berdua telah kawin. Kawin dalam arti bukan semacam mengadu untung melenyapkan perasaan sepi. Tetapi kawin dengan penuh kesadaran bahwa perkawinan begini telah dilampaui dengan susah payah. Apa yang sudah dicapai dengan susah payah biasanya tidak gampang dilepaskan lagi. Hari esoknya aku mengajak Myriam ke Paris untuk memperkenalkannya kepada teman-teman dekat di kedutaan besar Indonesia di Rue Cortambert 49. Memang ada yang kaget menatap aku pada akhirnya bisa kecantol disini, sesuatu yang mengejutkan mereka.

Kami membeli sebuah rumah dibilangan La Muette.

Rumah itu terletak di tepi sungai Seine. Istimewanya, jendela kamarnya akan menjorok seperti dek sebuah kapal. Bila jendela dibuka, tampak sungai Seine seakan-akan menghanyutkan rumah kami, tampaklah matahari terbit. Rumah ini tentunya dibuat oleh arsitek modern yang mengerti letak sebuah rumah, sesuai untuk segala musim.

Pagi itu kubuka pintu beranda. Masih jam empat pagi, tetapi cahaya matahari yang jingga menyala di timur sana. Kembali aku ke kamar, dan kucium tengkuk isteriku Myriam dengan sebuah ciuman.

Myriam membukakan mata. Dua bola matanya gemerlap, dia menggeleongkan tubuh dan berkata: "Aku letih sekali".

"Mau kau kugendong untuk kumandikan dengan sinar matahari?", tanyaku. Diusapnya janggutku yang tumbuh tak teratur. Memang perempuan Paris suka lelaki yang berjanggut liar sepertiku, berbeda dengan wanita Jepang lebih suka lelaki licin dan rapih.

Kugendong Myriam ke beranda. Dia melonjak-lonjak manja. Ketika kugendong itu dicubitnya ketiakku, dan aku berlagak akan melemparkannya ke sungai Seine dibawah kami.

"Adduh mati aku!"

"Mau kuceburkan lagi?"

"Ceburkanlah aku ke Seine kalau kau benci padaku", katanya ketawa.

"Yah aku benci kepadamu!" kataku melawak memelototkan mataku seperti pelawak-pelawak teater komedi.

"Kuda jantanku!" serunya.

‘Singa betinaku", teriakku geli.

"Engkau membikin aku letih semalam", katanya.

"Engkau membikin aku menggelepar’, kataku.

"Uou!", cubitnya.

"Kau…….", katanya lagi mencubitku,

"triompher d’un adversaire".

"Kenapa kau gelarkan aku ini penakluk unggul?", tanyaku.

"Kau badak Afrika", katanya.

"Tapi kau", kataku ketawa, "kau……….remporler une victoire decisive".

"Memang kekasihku! Aku mendapat kemenangan yang menentukan, — remporter une victoire decisive", kata Myriam menciumi leherku dan kemudian menggigit bahuku.

Memang tiada pengantin baru yang tak saling menyenangkan satu sama lainnya. Dan hari-hari bulan madu pada musim panas memang hari-hari pengantin yang sangat membahagiakan. Sebagai orang Indonesia, buatku matahari cerah di musim panas begini sudah biasa, tetapi bagi Myriam musim panas tak boleh dilewatkan satu haripun.

Aku dan Myriam terbang ke Elba, pulau di mana Napoleon Bonaparte mengakhiri hukuman dari rakyat Perancis. Kami berdua berjemur di panas matahari. Aku mengkhawatirkan kulitku akan semakin hitam tetapi Myriam berkata "Makin berkilat seperti perunggu, makin gairah aku padamu. Kau lelaki tulen kelihatannya !" Kami mandi dalam kecibak-kecebur ombak Laut Tengah. Kami berlayar menuju Marseille. Kami berkereta api lagi ke Paris karena rindu meninggalkan rumah limabelas ban%%%. Tapi dua hari saja kami menginap di rumah kami di La Muette. Pada malamnya Myriam berbisik kepadaku: "Sayangku! Bukankah kita pernah berniat untuk libur musim panas ke pantai barat Sables d’Olonne?"

Episode 38
Perempuan Paris


"Oya", kataku, "Loraine dan penyair Ron Saragat menghabiskan musim panas yang mesra disana, bukan?"

"Mari kita ganggu mereka, supaya mereka juga mengganggu kita", kata Myriam menampar bahuku sambil ketawa. Tetapi, bangun pagi yang sudah direncanakan, ternyata, kami sama bangun kesiangan. Kukira semua pengantin baru akan bangun kesiangan, sama lupa waktu seperti kami juga. Tetapi rencana ke pantai Atlantik untuk bermandi matahari di Sables d’Olonne tidak kami batalkan. "Lebih baik kita menyewa taksi. Potensi pisikmu harus dijaga, Ating. Kau tak boleh menyetir. Kita berpelukan sampai ke pantai laut itu".

Sables d’Olonne ! Memang pantai yang indah sekali! Aku pernah berdua dengan Henri kesini membawa sepasang gadis pada permulaan aku memasuki kehidupan Perancis. Bila kuingat dua tahun yang lalu aku jijik dengan kemesraan gadis pasanganku, aku menjadi ketawa sendiri, karena yang dikecup itu bukan bibirku. Gadis itu sungguh-sungguh menjijikkan seleraku, menyesal aku pernah mengecup bibirnya pada hari-hari sebelumnya. Kukira gadis ini telah dirusak oleh film blues yang sangat kotor yang pada tahun-tahun itu membabi-buta memasuki kota-kota, Eropah, membikin gadis-gadis yang baik jadi rusak karena kemesraan paduan anatomi yang terbalik yang diminta gadis itu dalam bercumbu. Aku tak kepingin rusak oleh permintaan gadis itu. Dan betapa aku jadi bahagia mempunyai Myriam yang tidak pernah kutemukan bercumbu dalam paduan anatomi terbalik itu.

Sables d’Olonne terletak antara sungai Loire dan sungai Gironde di tepi Atlantik. Begitu banyak manusia-manusia di pantai. Bukan saja pasangan lelaki dan wanita beraneka warna pakaian cerah dan celana mandi, tetapi juga keluarga-keluarga yang sudah menabung untuk menghirup matahari berpuas diri di pantai, mandi dan tidur-tiduran sepanjang hari dan terkadang kufikir-fikir mereka seperti orang gila semuanya karena di tanah airku matahari bersinar sepanjang hari! Tetapi selama seminggu di sana kami tak bertemu dengan Loraine maupun Ron Saragat. Myriam yang paling sibuk meneliti setiap orang yang kami jumpai di pantai. Dia terlalu yakin akan segala hal. Dia memastikan akan kepastian bertemu Loraine dan Saragat. Biarpun kami hanya menjumpai Ron Saragat saja sendirian disebuah villa yang disewanya, Myriam dan aku puas juga.

"Kemana Loraine?" tanya Myriam pada penyair tua yang murung itu.

"Dia akan menjadi bintang", kata Ron Saragat.

"Bintang?" tanyaku kaget, teringat apa yang diimpikan Loraine dulu.

"Ya. Bintang film. Itu akan membikin Loraine kehilangan masa depan. Jika dia jadi bintang, tentu Loraine akan lupa kepada puisi. Sedangkan seni yang paling agung adalah puisi. Tapi aku terpaksa melepaskan gadis yang ambisius ini. Biarlah dia temukan dunianya sendiri. Myriam. Seorang talenscout yang rada gila, namanya Henri dan mengaku sahabat monsieur ini dulu, telah menemukan Loraine untuk main film".

 

Bila aku kembali ke Paris, aku menilpon Henri untuk mendengar kebenaran itu. Tetapi Henri tidak ada di Paris. Dalam suratnya yang kuterima dua hari kemudian, aku kaget sekali bahwa Henri dan juga Loraine sedang membuat film amatir bersama seorang sutradara muda di Aljazair.

Alangkah cepat waktu berlalu, alangkah cepat segalanya berobah! Gadis yang dulunya tidak punya arti kecuali bermandi angan-angan itu, dalam musim gugur menjadi pembicaraan di seluruh Paris. Kami berdua Myriam mendengar sendiri seniman-seniman muda yang banyak ngomong di buncu Les Deux Magots dan juga seniman-seniman avantgarde di buncu Flore yang tak jauh dari cafe Magots, yang dulu menganggap Loraine bukan apa-apa kini seperti menghafal nama seorang yang menggurat sejarah. Surat-surat kabar dan majalah-majalah, mulai Le Figaro, Le Monde, Le Dauphine Libere, L’Aurora, France-Soir sampai Paris Match, memuat nama Loraine dan foto gadis itu, memuji sutradara muda berusia dua puluh tahun bernama Jacques Ouest punya masa cemerlang sebagai sutradara amatir untuk festival Cannes di masa ini. Hanya Henri sendiri saja yang mengeluh kepadaku dengan kepala tunduk "Aku tetap saja begini, temanku. Aku jadi perantara yang sibuk dengan komisi 10% tanpa bikin nama di permukaan langit itu". Tetapi aku percaya itu bukanlah kemurungan Henri yang sebenarnya, karena ia akan tetap gembira sebagai manusia-sepuluh procent, seperti selama ini dibanggakannya.

Musim gugur berlalu. Musim dingin di ambang pintu. Salju-salju hingga di mana-mana. Dan aku makin memeluk Myriam lebih ketat bila malam, dalam guha selimut yang tebal. Tetapi dalam musim salju sedemikian itu dengan hanya diisi pelukan dalam selimut saja kukhawatirkan akan memuakkan. Aku kepingin hidup ini tiada menjemukan sekalipun peluk dan kecup membuat hidup lebih segar daripada ngelamun melajang diri seperti semasa belum kawin dahulu.

"Kita ke Savoy", usulku.

"Kenapa? Mau apa?" tanya Myriam.

"Rendesvouz lagi main ski, mendaki gunung. Bukankah itu menggembirakan ? Dan kau akan lebih sehat", kataku.

"Aku lelah sekali, sayangku", katanya. "Lebih baik kita di Paris sini saja".

Kegembiraan jadi berkurang karena usulku yang selama ini biasanya diterimanya kini ditolaknya. Aku menyibukkan diri untuk melupakan kemurungan itu dengan menhlpon Henri agar ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat keramik dari motif batik. Hidup dibeayai isteri memang tak enak. Aku memerlukan uang yang kucari dengan jerih payah sendiri! Aku gagal untuk mengisi waktu main ski dan mendaki gunung yang menjadi kesenanganku tiap tahun di Savoy, — dan — untuk itu aku harus isi dengan kesibukan lain agar Myriam isteriku tidak menduga aku ini lelaki pengambek. Tetapi pada akhirnya Myriam mengetahui juga gelombang surut dalam hatiku ini! Diciuinnya bibirku lumat-lumat pada suatu malam, dan dibisikkannya kepadaku. "Kita berangkat besok ke Savoy, manisku!"

Tetapi justru ini membuat malapetaka bagi kehidupan kami! Hari itu hari Sabtu siang, ketika itu tak bisa kubayangkan Myriam bisa menjerit mengejutkanku dan orang-orang yang meluncur main ski, riang tertawa. Myriam meluncur dari puncak salju-salju seperti manusia terbang, menggelincir ke atas sebuah restaurant lalu terbanting jatuh ke bawah. Isteriku! Isteriku! Aku berteriak di tengah-tengah orang ramai itu tanpa menghiraukan lagi siapapun dan menubruk-nubruk siapapun, merengkuh isteriku yang kukira tiada harapan untuk hidup. Pada ujung kesedihan paling pahit, aku masih berkata menghibur diri bahwa aku masih bersyukur Myriam tidak tewas.

Episode 39
Perempuan Paris


"Bayiku", bisiknya menangis memelukku di hospital, "Padahal ingin sekali aku menggendong bayi kepunyaanku sendiri".

"Semoga tahun depan aku bisa memberikan bayi lagi bagimu, Myriam. Yang penting kau sehat dan sembuh kembali", hiburku.

Tetapi menghibur seseorang, menghibur diri, dengan dusta yang harus kutahan sehari demi sehari selama bulan-bulan musim salju dan musim semi kembali, tidak bisa lari lagi dari sesuatu yang jauh lebih menyedihkan daripada hanya Myriam keguguran itu saja. Seorang dokter telah berterus-terang kepadaku tentang penyakit yang diderita oleh Myriam yang lebih berat dari hanya keguguran bayi saja. Dokter itu menyarankan agar aku pergi ke Amerika untuk menyelamatkan isteriku.

"Kanker ?" tanyaku cemas.

"Semacam itu. Kanker kandungan. Namanya mola. Mt yang kami keluarkan dari kandungan isteri anda, monsieur Ating. Jadi bukan bayi", katanya.

Memang aku ada melihat benda bundar sebesar buah appel yang dimasukkan oleh dokter ke dalam gelas tertutup. Aku melihat sendiri waktu itu bahwa benda itu pasti benda yang penting, karena tertulis pada secarik kertas huruf-huruf penting untuk diselidiki institute kanker PBB di WHO.

"Apakah isteriku bisa disembuhkan?" tanyaku.

"Kami tak berani berterus-terang. Tetapi sebagai sobat anda, aku harus menyatakan bahwa anda bisa menyimpan rahasia ini Cuma anda harus tenang mendengarnya. Menurut hematku, mola semacam kanker yang sukar untuk sembuh. Dia berakar. Dia bisa dikeluarkan lagi, kambuh lagi tetapi berbahaya bila akar itu menjalar ke mata dan otak", katanya kemudian.

Semalam suntuk aku pergi ke perpustakaan untuk mencari keterangan mengenai penyakit itu. Sebuah buku tebal membuatku barusan tidur pada dinihari. Dan bila aku tenjaga, aku sudah bisa membayangkan, bahwa akar-akar mola itu akan menjalar pada suatu ketika ke otak dan mata isteriku. Myriam akan jadi buta. Hanya beberapa jam saja setelah dia buta nanti dia akan terkejut oleh satu sentakan. Dan sentakan itulah yang bernama maut. O, mengapa aku harus membaca ini. Ini membikin aku tahu bahwa isteriku Myriam pada suatu hari akan mati. Dan menurut perhitungan ilmiah, itu akan datang dua tahun lagi. Ya, dua tahun lagi. Dua tahun lagi Myriam akan mati. Aku telah tahu hari itu akan datang di musim salju dua tahun mendatang, — hari kematian Myriam. Tetapi setiap Myriam kudekati, aku selalu membohonginya. Membohonginya bahwa dia akan sehat. Begitupun setelah dia keluar hospital aku selalu membohonginya. Dia tak boleh tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dua tahun mendatang ini, aku harus menjaga kepalsuan-kepalsuan ucapanku yang berbohong agar dia tak mengetahuinya. Karena sangat sedih bila aku terlanjur bilang bahwa dia akan tewas dua tahun di depan ini. Itu terlalu kejam bila kukatakan. Terlalu pedih buat seseorang bila orang itu tahu saat-saat matinya diambang mata. Biarpun dengan menahan begini masih harus kulalui dengan penderitaan berat selama dua tahun lagi, namun aku harus melakukannya. Kematian akan diterimanya sebagai surprise, ya, memang harus demikian seharusnya.

Tetapi betapa tololnya aku. Aku tak bisa menahan penderitaan ini. Aku terlalu lemah selama satu tahun menekan rahasia ini. Dan aku minum-minum terlalu banyak. Aku membuat pesta gembira yang berlebih-lebihan, sehingga aku mabuk. Dan dalam mabukku aku tak mengetahui apa yang selama setahun aku masukkan di bawah alam fikiranku, kemudian keluar meluncur dalam mabuk~mabuk itu.

Ketika .aku sadarkan diri, aku segera memeluk isteriku, Aku gugup. Aku bertanya kepadanya "Apa yang kuucapkan sewaktu mabuk itu?"

"Sesuatu yang indah. Sesuatu yang telah kuketahui", katanya.

"Apa?" tanyaku.

"Hari kematianku", kata Myriam.

Myriam menghela nafas dalam-dalam. Dipandanginya bunga-bunga yang memutik pada musim semi itu. Di bawah, sungai Seine mengaum, menerjang tebing. Aku membisu dalam takutku.

"Aku tak takut lagi, sayangku. Aku telah berhari-hari membaca sebuah buku di penpustakaan. Dalam daftar pembaca buku itu tertera namamu. Rupanya setahun yang lalu kau telah mengetahui penyakitku. Aku berbahagia karena selama satu tahun kau telah merahasiakan apa yang kau ketahui dari buku itu. Aku bahagia ada seseorang yang berdusta. Kali ini dustamu menjadi ukuran bahwa kau benar-benar mencintaiku. Dan biarpun aku tahu bahwa tahun depan aku pasti meninggalkan kau untuk selama lamanya, aku tiada akan sulit lagi menjemput maut itu. Karena apa yang kusangsikan selama hidupku telah kuyakini kini. Yaitu aku dicintai sepenuhnya, dicintai sepenuhnya, oleh seseorang. Yaitu kau. Karena itu percayalah, aku ikhlas akan hal itu. Aku ikhlas bila maut itu datang menjemput jasad dan jiwaku".

Mulanya aku mengira, apa yang disebut ikhlas oleh Myriam pun hanya sekedar menghiburku. Tetapi sehari demi sehari aku melihat dia malahan berusaha untuk menyenangkan hatiku, karena dia pun tahu bahwa aku telah mengetahui hari kematiannya tinggal setahun lagi. Dia berkata: "Jangan kau susah. Biarpun aku akan pergi menjemput maut dengan susah nanti, tetapi lebih susah lagi aku jika kau murung apabila aku pergi. Percayalah. Kalau dulu aku menolak orang yang berkata tidak indah bila mengetahui hari mati kita sendiri, nyatanya ketika itu kualami sekarang, tidaklah seberapa sulit. Tahu itu indah. Tahu itu hidup. Tahu itu kehidupan yang sempurna. Apa yang akan dirisaukan lagi selain kesempurnaan menyeluruh begini, hidup yang perfect begini?"

Aku tetap beranggapan bahwa Myriam menipu dirinya sendiri.

Tetapi dengan sangat teliti aku melihat dia begitu wajar sehari demi sehari menjemput banban yang akan datang itu. Sehari demi sehari malahan dia kulihat semakin bertambah biasa. O, perempuan ini. Dulu kukira hanya sosok daging yang cuma membutuhkan kehidupan ini begitu dangkal untuk dihisap. Nyatanya dia jauh lebih agung daripada anggapanku. Memang manusia sulit untuk dinilai. Ada yang tersembunyi yang paling rahasia yang disimpan seseonang, yang takkan diketahui oleh orang lain.


Episode 40
Perempuan Paris


Setiap kubuka jendela dan pintu setiap pagi, aku tahu hari kematian Myriam makin dekat jua. Musim semi yang penuh kabut sehari demi sehari mengusir kabut-kabut itu menjadi musim panas. Dan pada hari lainnya lagi bila kubuka pintu dan jendela aku melihat daun-daun gugur, pertanda musim gugur telah datang dan hari kematian Myriam makin dekat lagi. Aku tak bisa membohongi Myriam dan tak bisa punya fantasi seperti pengarang O’Henry yang membuat lukisan daun di luar jendela. Cerita pendek O’Henry itu sudah lama kubaca, semasa masih sekolah menengah dulu. Seorang gadis mencemaskan kematiannya. Setiap daun gugur di luar jendela itu jatuh, gadis itu semakin cemas akan kematiannya. Dan ada sebuah daun terakhir yang dicemaskan gadis itu. Nama gadis itu Sue. Sue melihat daun terakhir itu adalah lambang kematiannya.

Kini akupun demikian berdiri di jendela, memandangi daun-daun gugur tanda kematian isteriku semakin dekat, sekalipun begitu banyak daun-daun yang gugur. Tiba-tiba Myriam memelukku dari belakang hingga aku terkejut.

"Aku tahu apa yang kau ingat sewaktu daun-daun gugur itu, kekasihku! Kau teringat pada cerita pendek O’Henri. Seorang pelukis Behrman dalam kisah itu ingin menyelamatkan Sue dengan melukiskan daun itu di dinding hospital agar Sue takkan melihat daun terakhir itu gugur. Tapi kau tak usah mengkhayalkan itu. Aku bukanlah Sue. Aku tidak cemas daun-daun itu gugur, pertanda musim gugur akan dilalui dan musim saljupun akan datang pertanda hari kematianku semakin dekat. Percayalah, aku tidak setakut Sue. Aku cukup ikhlas dan kuat, sayangku".

Pada hari-hari yang lain di bulan lain, kubuka jendela seperti biasa. Angin berhembus kencang dan dingin, membawa cairan-cairan bergumpal seperti kapas-kapas randu.

Musim salju telah datang! Hari kematian Myriam semakin mendekati gerbang. Aku menunggu dengan cemas. Tetapi sehari demi sehari ketika salju-salju makin membeku dan bergantungan pada pohon-pohonan sekitar rumah kami, bila kutatap mata Myriam, dia hanya tersenyum. Dia senyum bila mata kami beradu pandang. Dia selalu bertanya mengapa aku cemas. Dia berkata, sedangkan dia yang akan melewati gerbang maut yang makin mendekat, tidak mencemaskan kematian itu. Dan dia berkata selalu kepadaku agar aku tak mencemaskan kematiannya itu, karena kematian pasti akan mendatangi setiap manusia. Kupandangi sungai Seine mengalir di bawah itu, membelah dua jantung kota ini.

 

TAMAT


   

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management